Cara Move On Cepat dan Efektif berdasarkan Riset

Cara-Move-On-Cepat-dan-Efektif-berdasarkan-Riset

Cara move on cepat? Bagaimana caranya? Memangnya, ada cara instan dan ekspres?

Ilustrasi: kamu baru aja putus. Langit terasa menghimpit dada. Rasanya sesak dan sulit bernapas. Kamu nggak mau diputusin seperti ini. Kamu belum siap. Kamu masih sayang. Kamu syok. Kamu bagai mayat hidup. Kamu merasa seperti si Zombie. Nadimu masih berdenyut, tapi sesungguhnya di dalam dirimu, sudah terjadi sebuah kematian. #dehem.

Kamu tidak sendiri, Sob.

Cara Move On Berdasarkan Pengalaman Sendiri

Aku ingat saat putus di tanggal 4 mei 2018, di hari Jumat, jam 18.00. Ketika pulang kantor. Di hari menjelang akhir pekan, yang biasanya kita rayakan. Aku nangis menjerit. Karena aku tidak mau putus. Aku merasa terlalu lelah untuk memulai hal baru. Lagi pula, aku bukan anak remaja, yang masih mempunyai masa depan panjang. Aku sudah tak muda lagi. Aku merasa perjuangan selama ini sia-sia. Ditambah lagi, dengan asumsi dia sungguh high quality. Di mana aku akan menemukan orang seperti itu?

Aku ingat, aku memaksakan diri untuk terus mengikuti jadwal—malam itu, rencananya aku mau pergi Garut. Lalu, Sabtu pagi mendaki gunung Papandayan.

Tapi, di luar perkiraan. Segalanya terasa mengambang. Hampa. Suram.

Kemudian, Senin dini hari, aku tiba di Jakarta. Tinggal sendiri. Tak ada distraksi. Paginya tetap menyeret tubuh masuk kamar mandi. Tetap keramas agar bisa bangun. Lalu berjejalan di commuter line. Menegakkan tubuh agar tetap sanggup mengerjakan rutinitas di kantor. Aku sudah kehilangan pacar. Maka, aku tidak boleh kehilangan pekerjaan.

Dengan membaca ilustrasi di atas, kamu bisa tahu kan. Kamu tidak sendiri.

Oke, agar lebih akurat, aku akan menyunting artikel dari blog yang lebih punya dasar risetnya. Tentunya, kamu bisa membaca versi aslinya di sini. Tanpa berbasa-basi lagi, langsung saja kita bedah cara untuk move on!

Cekidot.

 “Life always waits for some crisis to occur before revealing itself at its most brilliant.” ~ Paulo Coelho

“Hidup selalu menunggu beberapa krisis terjadi sebelum mengungkapkan diri pada titik yang paling cemerlang.” ~ Paulo Coelho

Mencari tahu bagaimana move on setelah putus adalah salah satu transisi paling sulit. Dan sementara masing-masing dari kita move on dengan:

  1. Taktik kita sendiri.
  2. Dan pada waktu kita sendiri.

Satu kebenaran universal yang tidak bisa diabaikan—kita semua menghadapi tantangan ini, di beberapa titik dalam kehidupan kita. Bener nggak, Sob?

Hal yang harus digarisbawahi, kita nggak sendirian dalam penderitaan kita. Baru-baru ini, ditemukan bahwa, rata-rata, orang menghabiskan sekitar 18 bulan setelah breakups.

Kamu mungkin berkomentar, “Wuidih, lama bingit. Keburu dikubur dong ane.”

Tetapi, kabar baiknya, bahwa, meskipun butuh waktu, orang dapat move on kok. Dan ketika mereka berhasil move on, mereka ‘memungut’ pelajaran—secara aktual dan nyata, yaitu pengalaman hidup untuk sembuh dan bertumbuh.

Intinya, ya udah lah ya, pada akhirnya, kita sanggup healing juga. Jadi rumusnya adalah jalani aja jangan banyak berasumsi.

Yuk kita mulai:

Sebelum kita masuk ke alat dan teknik how to move on, saya berharap, bahwa siapa pun yang membaca ini, akan mengambil satu detik untuk-membiarkan-diri-mereka-merasakan-fakta, bahwa ini BERAT.

Tidak peduli, berapa banyak orang yang menyusuri jalan ini sebelum kita, saat ini, yang kita alami mungkin hal paling menyakitkan.

Salah satu cara terbaik untuk menghadapi kenyataan rasa sakit itu adalah, dengan self compassion, atau berbelas kasih pada diri sendiri.

Caranya?

  1. Tidak menyangkal perasaan.
  2. Tidak membiarkan diri kita bersedih-berlarut-larut di dalamnya.

Kedua hal di atas, menawarkan kebebasan, atas rasa sakit akibat putus cinta. Dan pada akhirnya, kita pun, berhasil move on deh.

Lebih konkretnya?

  1. Bersikap baik pada diri sendiri.
  2. Perlakukan diri kita, sebagaimana kita memperlakukan teman.

After a hurricane comes a rainbow, abis badai muncullah pelangi. Itu sebuah fakta, Sob. Kamu tidak akan terus-terusan menghadapi badai. Dan kamu, tidak dimanjakan dengan melihat pelangi melulu. Hidup bagai gelombang. Pasang dan surut.

Kesimpulan cara move on: catatan super penting: ini adalah tentang timing. Waktu.

Setelah hubungan berakhir. Ketika orang-orang bergumul dengan rasa hampa, dan nestapa. Pertanyaan pertama mereka seringkali, “berapa lama si sakit ini akan eksis? Dan, berapa lama lagi aku harus menderita?”

Pastinya, Sob, nggak ada formula ajaib, untuk menjawab pertanyaan ini.

Menurut sebuah studi, yang diterbitkan dalam Journal of Positive Psychology, lebih dari 70 persen peserta, membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan untuk move on, atau, “melihat aspek-aspek positif dari perpisahan mereka”. Dan, untuk merasa  goal-oriented, serta, mengalami personal growth, atau pengembangan diri.

Nggak heran kalo gitu, emang benar, kok. Biasanya, fakta di lapangan mengatakan, hampir semua orang, butuh sekitar lebih dari tiga bulan. Rata-rata semuanya sama, lho.

Survey lain mengatakan, orang mulai berkencan dengan cara yang nyata, di mana, mereka fokus pada situasi baru, dan sudah tidak membandingkan dengan situasi lama. Artinya bayang-bayang si ex udah mulai hilang, Sob.

Tentu aja, setiap orang itu unik, seperti halnya hubungan mereka juga spesial. Tidak bisa dipukul rata.

Maksud dari pengulangan angka-angka ini adalah, semata-mata untuk menekankan, bahwa healing dapat memakan waktu. Yang sabar ya, Sob. Ojo kesusu. Hal baik datangnya tidak pernah terburu-buru.

Kita harus berusaha, mempertahankan sikap lapang dada. Kita juga sebaiknya, berperilaku gentle terhadap realita ini. Hari-hari buruk, adalah bagian dari journey, yang seolah panjang dan lama. Namun percayalah. Saya jamin, 100% hari-harimu akan menjadi indah lagi. Seperti sedia kala.

Mungkin tidak persis kayak gitu, tetapi waktu, sesungguhnya, ada di pihak kita. Maksudnya? Kitalah yang menentukan proses move on, apakah ingin memakan waktu cepat, atau ingin lama.

15 Langkah untuk Move On:

Lihatlah Hidup Kamu sebagai sebuah Avontur a.k.a Petualangan

Hal prinsipil untuk diingat bahwa semua orang yang baik-baik saja sekarang memiliki momen ketika mereka berpikir mereka tidak akan pernah baik-baik saja.

Perpisahan mungkin terasa seperti akhir dunia, tetapi bertahun-tahun dari sekarang, perjuangan hari ini akan terasa seperti pelajaran dari masa lalu. Hanya akan jadi kenangan. Memori bahwa kita pernah ‘bertarung’ melawan rasa-kosong-akibat-patah-hati.

Semakin kita melihat hidup kita bagai air dan tidak tetap, semakin kita bisa melihat pengalaman kita dalam perspektif yang proper. Akhir dari suatu hubungan bukanlah akhir dari kisah hidup kita.

Baik ketika kita bersama seseorang atau sendirian, meski kita punya pasangan atau single,  nggak ada orang lain yang bisa mengklaim cerita kita atau identitas kita.

Saat kita berpisah kita seolah punya perasaan seperti meninggalkan sebagian dari diri kita sendiri, bertanya-tanya bagaimana untuk melanjutkan hidup tanpa mereka, tetapi faktanya kita masih utuh, masih berkembang, dan masih terus tumbuh sepanjang waktu.

Menjaga the imagery of movement atau merhatiin banget gerakan dalam pikiran kita adalah cara untuk mencegah diri kita terperangkap dalam pusaran inner critic alias kritik-dari-dan-pada-diri sendiri yang ngoceh melulu bahwa kita tidak akan pernah bisa move on atau merasakan diri kita lagi.

Suruh Diam si Tukang Kritik di Dalam Batin Kamu itu!

Thecritical inner voiceatau “Suara hati tukang kritik” adalah istilah yang digunakan oleh Dr. Robert Firestone untuk menggambarkan proses berpikir negatif yang kita semua miliki yang seperti internalized nemesis atau musuh bebuyutan yang menggerogoti dari dalam.

“Suara” kejam ini mengkritik, meng-coach/ menggurui, dan bahkan mengasihani kita (dan orang lain) dengan cara yang merongrong ketika kita naik dan menendang ketika kita turun. Atuh makin jatuh jumpalitan dan terperosok lah kita ini. Kapan majunya jika begini.

Sesungguhnya, rasa sakit yang melimpah dan penderitaan yang seolah tiada pernah usai yang kita alami setelah putus cinta adalah karena kritik batin ini.

“Suara” yang umum berbisik di kepala kita setelah post-break-up alias putus cinta meliputi:

“Apa kata gue dia akan ninggalin kamu.”

“Mampus! Kamu nggak punya apa-apa sekarang.”

“Tidak ada yang akan mencintaimu lagi.”

“Seumur hidupmu, kamu akan selalu sendirian.”

“Kamu nggak bisa percaya cowok.”

“Kamu harus melupakan relationship.”

“Mabok yuk? Pasti perasaan kita jadi enak abis itu. “

“Udah mending kita menyendiri aja. Nggak ada yang sudi melihat mukamu yang jelek itu sekarang.”

Terjebak dalam dialog internal ini membuat proses mencari tahu bagaimana cara move on menjadi lebih ruwet.

Namun, kita dapat mengenal suara ini sebagai musuh sebenarnya dan belajar untuk memisahkannya dari sudut pandang kita yang sebenarnya dengan membaca tentang langkah-langkah untuk mengatasi suara batin yang bawel.

Merefleksikan secara Realistis

Selalu ada kehilangan yang riil nan nyata yang timbul karena putus, tetapi, kita juga bertendensi melihat kembali hubungan kita dengan zoom in pada yang baik dan pake kacamata kuda pada hal yang buruk.

“Renungkan hubungan untuk apa itu,” saran Dr. Karen Weinstein dalam sebuah wawancara dengan Business Insider.

“Tahan kecenderungan umum untuk memandang ideal sebuah hubungan. Sangat lazim untuk hanya mengingat dan fokus pada aspek yang indah-indah saja di sebuah hubungan.

Ini membuatnya lebih pelik untuk menerima realitas bahwa itu sudah berakhir dan setara dengan ‘denial’ in the stages of grief.” Atau tahap denial di fase kesedihan.

Memang sih cara move on cepat itu gampang-gampang susah.

Mengingat-ingat bahwa ada pergumulan dan masalah dalam hubungan itu—alasan sebenarnya mengapa kita tidak lagi bersama—dapat membantu kita merasa lebih tangguh dan bertekad untuk terus moving on.

Lepaskan Fantasi

Mengutopiakan pasangan kita atau hubungan yang udah bubar jalan itu bukan hanya sesuatu yang terjadi setelah hubungan itu berakhir.

Seringkali, pasangan memasuki apa yang Dr. Firestone sebut sebagai afantasy bond” atau “ikatan fantasi”, ilusi koneksi yang menggantikan tindakan cinta dan keintiman yang nyata dan genuine.

Gejala ikatan fantasi dapat mencakup:

  1. Hubungan sebagai satu kesatuan.
  2. Menilai bentuk menjadi pasangan daripada substansi melakukan kontak.
  3. Jatuh ke dalam rutinitas.
  4. Kurang mandiri.
  5. Terlibat dalam hubungan kurang kasih sayang.
  6. Memasuki dinamika kontrol.
  7. Submisif sebagai lawan dari kesetaraan, dan begitu seterusnya.

Kualitas hubungan sering memburuk ketika cinta sejati diganti dengan ikatan fantasi. Mereka mungkin tetap bersama berdasarkan pada fantasi bahwa pasangan mereka entah bagaimana akan “menyelamatkan” mereka.

Atau, mereka mungkin putus, karena elemen-elemen yang pertama kali menyatukan mereka nggak lagi berjalan sebagaimana mestinya.

Ketika kita berada dalam ikatan fantasi dan hubungan berakhir, bahkan lebih sulit untuk move on, karena kita tidak hanya berduka atas kehilangan orang tersebut tetapi kehilangan fantasi.

Dinamika fantasi ini juga menggiring kita untuk terus melihat pasangan yang telah pergi melalui lensa yang sempurna.

 “Ketika ikatan fantasi terputus, kita bertendensi untuk meratapi akhir rasa aman kita yang semu daripada akhir dari hubungan cinta yang nyata,” tulis Dr. Lisa Firestone.

“Ketika kita putus dengan seseorang, dan kita rela melepaskan ilusi hubungan ini, kita mungkin menemukan bahwa kita nggak terlalu berdarah-darah oleh perpisahan itu.”

‘Memenggal’ ikatan fantasi dengan mantan pasangan sering kali merupakan kunci untuk sanggup  move on.

Cara Move On Cepat: Feel the Feelings. Rasakan Rasa itu

Adalah normal untuk menjadi emotionally raw atau emosional banget setelah putus. Jadi turunkan ekspektasi kamu. Jangan menyuruh dirimu kuat setiap saat, karena itu jahat, dan terlalu lebay. Sayangi dirimu sendiri.

Meskipun, perasaan galau ini bisa terasa luar biasa tidak nyaman, kita harus ingat bahwa emosi datang dalam gelombang. Kadang pasang. Kadang surut.

Dia eksis, memuncak, lantas mereda. Menerima perasaan kita adalah bagian dari jalan menuju healing atau penyembuhan.

Treat yourself the way you would a friend, and give yourself a break.

Perlakukan dirimu seperti kamu memperlakukan seorang teman, dan kasih dong dirimu-yang-hanya-ada-satu-satunya-di-dunia-itu-istirahat. Jangan diforsir terus-menerus.

Kita dapat mengakui adanya kesedihan, kemarahan, atau ketakutan yang muncul tanpa menyerahkan perasaan bulat-bulat kepada kritik batin kita. Ingatlah bahwa perasaan kita dapat diterima, tetapi pikiran terdistorsi di sekitar perasaan itu tidak bisa ditoleransi, seperti apa pikiran di sekitar feeling?

Ini contohnya:

“Kamu tidak akan pernah menemukan orang lain” atau “Kamu tidak bisa hidup tanpanya”.

Ngomong sama Orang Lain.

Beberapa orang percaya bahwa cara untuk move on adalah dengan shut down dan tidak membicarakannya. Menurut HelpGuide.org, justru ini adalah pendekatan yang sifatnya oposisi atau bertolak belakang.

“Meskipun sulit bagimu untuk membicarakan perasaanmu dengan orang lain, sangat vital untuk menemukan cara untuk melakukannya ketika kamu sedang bersedih. 

Mengetahui bahwa orang lain aware dengan feeling kamu akan membuat kamu merasa kurang sendirian dengan rasa sakit kamu dan akan membantu untuk sembuh.”

Sharing dengan seseorang yang telah melaluinya, seseorang yang kamu percayai dan dapat memberikan simpati, atau put you in a good mood atau seseorang yang ngebantu membuatmu dalam suasana hati yang oke adalah ide yang cerdas (dan tidak egois).

Orang lain ingin berada di sana untukmu.

Kita juga dapat mengambil benefit dengan mencari bantuan terapis dan memiliki outlet yang aman dan spesifik secara emosional.

Cara Move On Cepat: Explore your Attachment Style. Eksplor Gaya Attachment Kamu

Sebuah study baru-baru ini di Pace University menunjukkan bahwa gimana sih orang merespons putus banyak hubungannya dengan attachment style.

Studi ini nemuin bahwa “individu yang melaporkan higher self-esteem atau percaya diri yang lebih tinggi, nggak terlalu sensitif pada penolakan, dan tingkat kecemasan attachment lebih rendah melaporkan lebih sedikit efek samping terhadap putusnya hubungan.”

Belajar tentang bagaimana attachment style memengaruhi hubungan, sehingga dapat membantu kita memahami reaksi kita sendiri yang intens terhadap perpisahan.

Itu juga dapat membimbing kita untuk memahami gimana kita bereaksi terhadap sesuatu di dalam relationship, dan apa yang kita rasakan dalam sebuah relationship, secara umum.

Sebagai contoh, mungkin kita merasa lebih nggak aman dan melekat berlebihan pada pasangan kita, berdasarkan attachment style. Memahami riwayat attachment kita juga bisa mengarahkan kita ke arah membentuk ikatan yang lebih tenang pada relationship di masa depan.

Believe in Yourself. Percaya pada Dirimu Sendiri

Researchers Stanford baru-baru ini menjaring fakta bahwa “kepercayaan dasar seseorang tentang kepribadian dapat berkontribusi pada apakah [mereka] pulih dari, atau tetap terperosok dalam, rasa sakit penolakan.”

Mereka menemukan bahwa individu yang melihat kepribadian sebagai hal tetap nan permanen lebih cenderung menyalahkan diri sendiri dan “kepribadian toksik”.

Mereka lebih bertendensi mempertanyakan dan mengkritik diri mereka sendiri dan merasa lebih putus asa tentang masa depan romantis.

Namun, individu yang melihat kepribadian mereka sebagai sesuatu yang dapat “berubah” lebih condong untuk melihat perpisahan mereka sebagai peluang untuk tumbuh, berkembang, dan menjadi lebih baik. Mereka tetap punya harapan tentang hubungan masa depan mereka dan dapat move on dengan lebih mulus.

Jika kita dapat melawan inner critic atau kritik batin kita dan percaya pada kemampuan beradaptasi kita sendiri, pasti kita bisa dapet cara untuk move on lebih sakses.

Embrace Self-Compassion. Rangkullah Sayang pada Diri Sendiri

Self-compassion bisa menjadi unsur paling transenden penyembuhan dari putus cinta.

“Jika kamu memilih semua variabel yang memprediksi bagaimana orang akan melakukan aktivitas setelah bercerai, self-compassion 100% bisa membantu mereka melawati hari demi hari,” kata peneliti David Sbarra dari University of Arizona, setelah mewawancarai lebih dari 100 orang yang baru saja bercerai.

Menurut Greater Good Magazine, penelitian Sbarra menunjukkan bahwa “mereka yang memiliki self-compassion yang tinggi melaporkan lebih sedikit pikiran negatif yang mengganggu, lebih jarang mimpi buruk tentang perceraian, dan lebih sedikit perenungan destruktif.

Self-compassion memiliki dampak yang lebih super daripada sifat, kebiasaan, atau bahkan detail praktis lainnya.”

Dr. Kristin Neff, seorang peneliti eminen tentang self-compassion menulis bahwa itu “melibatkan tindakan yang sama terhadap dirimu ketika kamu mengalami kesulitan, gagal, atau memperhatikan sesuatu yang tidak kamu sukai tentang dirimu.

Alih-alih hanya mengabaikan rasa sakit kamu dengan mentalitas a ‘stiff upper lip’, kamu berhenti untuk mengatakan pada diri sendiri ‘sekarang ini benar-benar sulit,’ bagaimana saya bisa menghibur dan merawat diri sendiri pada saat ini?”

Ia mendefinisikan self-compassion sebagai memiliki tiga elemen elementer:

  1. Self-kindness atau kebaikan diri sebagai lawan penilaian diri
  2. Common humanity atau kemanusiaan umum sebagai lawan isolasi
  3. Mindfulness sebagai kebalikan dari identifikasi berlebihan

Merangkul setiap elemen ini dapat membantu kita dalam perjalanan saat kita menjumpai metode move on.

Practicing Mindfulness. Berlatih Konsentrasi

Dr. Lisa Firestone menggambarkan mindfulness kesadaran sebagai “alat luar biasa untuk membantu orang memahami, mentolerir, dan menangani emosi mereka dengan cara yang sehat.”

Mempraktikkan mindfulness meditation atau meditasi perhatian telah terbukti mengurangi stres dengan mengajarkan kita untuk menerima pikiran dan perasaan kita tanpa terlalu mengidentifikasi dan kewalahan oleh mereka atau menilai diri kita dengan keras.

Headspace adalah aplikasi yang memandu orang melalui latihan simple mindfulness exercises, memungkinkan mereka mengintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari dengan enteng.

Saran mereka untuk menggunakan mindfulness atau fokus penuh untuk bisa melewati proses patah hati antara lain memperhatikan kisah-kisah yang disampaikan oleh pikiran kita, mengakui mereka, tetapi tidak harus memercayai mereka, membiarkan diri kita merasakan emosi kita, berfokus pada bersyukur, dan meluangkan waktu setiap hari untuk latihan mindfulness.

 “Duduk dengan penuh kesadaran, fokus dan merasakan emosi yang kuat mungkin tampak seperti hal terakhir yang ingin kamu lakukan,” tulis mereka.

“Tapi itu adalah langkah krusial dalam proses penyembuhan.”

Jangan Direnungkan

Salah satu manfaat mendasar mindfulness adalah mendukung kita menghindari merenung dan meratap.

Sebuah  study di Inggris baru-baru ini terhadap lebih dari 30.000 orang menunjukkan bahwa mengomel tentang hal itu lagi dan lagi dan pada peristiwa kehidupan negatif (terutama melalui melamundan menyalahkan diri sendiri) dapat menjadi prediktor superior dari beberapa masalah kesehatan mental yang paling universal.

Jadi, sementara kita tentu harus berbicara secara terbuka tentang perjuangan kita dan merasakan perasaan kita tentang break up, kita harus waspada dengan memanjakan diri dalam pikiran obsesif atau tenggelam dalam pikiran jelek yang menuntun kita ke jalan yang gelap.

Kita dapat menolong diri kita sendiri ketika kita mulai termenung, ketika kita melihat suara hati yang mencaci-maki merayap masuk atau suasana hati kita berubah menjadi lebih buruk.

Cara Move On Cepat: Find a Support Team. Temukan Tim Pendukung

Teman-teman kita bisa menjadi alat terbaik ketika kita mencari strategi untuk move on.

Setiap kali kita mengalami kesulitan atau transisi dalam kehidupan, akan sangat kondusif untuk membentuk tim hore, sekelompok orang yang kita tahu bisa kita hubungi ketika kita merasakan yang terparah.

Daftar teman ini bisa panjang atau pendek. Ini dapat mencakup keluarga, teman, penasihat, atau rekan kerja. Satu-satunya kriteria adalah bahwa kita memilih orang yang berkontribusi merasa baik-baik saja dan lebih seperti diri kita sendiri.

Mencari teman seseorang yang cenderung merenung atau bersimpati dengan kita bukanlah cara yang paling efektif untuk mendorong diri kita untuk move on.

Cheerleader kita melibatkan orang-orang yang dengannya kita bisa bersikap terbuka, jujur, dan nyaman untuk merasa emosional di depan mereka, tetapi yang juga memastikan untuk menyokong kita menjauhkan pikiran kita dari celoteh jahat dari batin kita.

Cara Move On Cepat: Practice Self-Care. Praktekkan Merawat Diri

Ketika kita terjebak dalam rasa sakit dan kebingungan karena putus, kita sering lupa untuk merawat diri kita sendiri.

Kurang tidur atau tidur melulu, makan terlalu banyak atau terlalu sedikit, minum alkohol, atau kurang gerak dapat memperburuk emosi negatif.

Nggak peduli seberapa bad moodnya kita, kita harus memperlakukan diri kita sendiri (dan tubuh kita) seperti teman dan ingat untuk mengurusnya. Kita harus mengingat dasar-dasarnya: olahraga, tidur, dan makan.

Bahkan olahraga ringan atau hanya jalan-jalan keluar rumah bisa menaikkan suasana hati kita karena tubuh melepaskan endorfin. Kurang istirahat dapat membuat kita merasa lebih stres, cemas, dan bingung. Terlalu banyak tidur bisa membikin kita pusing atau lesu.

Agar sehat, kita harus seimbang dan memberi diri kita waktu untuk rehat. Hal yang sama berlaku untuk makan.

Apakah kita memanjakan diri dengan menikmati berkotak-kotak kue atau mulai melewatkan makan, kita merugikan pikiran dan tubuh kita jika kita tidak mengopeni diri kita dengan apik. Kita harus mencoba makan hidangan sehat yang membuat tubuh kita bugar.

Dan meskipun tergoda untuk minum alkohol atau mencari jalan keluar dengan cara giting, setelah tinggi pasti ada rendah. Dan di posisi terendah itulah, selama atau setelah penggunaan suatu zat dapat terasa lebay dan membuat kita kembali emosional.

Cara Move On Cepat: Coba Hal-Hal Baru dan Lama juga.

Deepak Chopra berkata, “Dalam proses of letting go atau melepaskan kamu akan kehilangan banyak hal dari masa lalu, tetapi kamu akan menemukan dirimu sendiri.”

Salah satu cara tersehat untuk move on adalah mendeteksi formula untuk terhubung dengan diri kamu sebagai individu.

Jika aneka hal yang kita cinta selalu terkait dengan pasangan kita, kita harus mencari kegiatan baru dan membuat nostalgia anyar yang menjadi milik kita.

  1. Kita dapat mencoba mengikuti kelas.
  2. Mengunjungi kota yang belum pernah kita jelajahi.
  3. Menjadi sukarelawan.
  4. Pergi bersama teman baru.
  5. Mengikuti hobi.
  6. Atau makan di restoran yang berbeda—apa pun yang terasa eksploratif dan unik bagi kita.

Di sisi lain, kita juga bisa mengerjakan hal-hal yang dulu suka kita lakukan.

Bisa jadi, ada aktivitas yang berhenti kita lakukan ketika kita menjalin hubungan yang bisa kita coba lagi—mungkin olahraga atau a creative pursuit, yang berbau kreatif.

Berlawanan dengan kepercayaan populer bahwa kita nggak harus melepaskan teman, kegiatan, atau bagian dari seluruh kota ketika kita break up dengan seseorang.

Btw, pertanyaan: mengenai bagaimana cara move on cepat, mulai menemukan jawabannya? Kalau belum, simak terus sampai tuntas, jangan diskip.

Namun, jika hal-hal tertentu memicu kita secara emosional sehingga kita lebih nyaman untuk menjauh, itu bukan perkara. Lebih baik kita menghindar sejenak.

Tujuan fundamentalnya adalah untuk menjalankan hal-hal yang membuat kita paling merasakan diri kita sendiri, apakah itu berarti mendapatkan aspek-aspek gres tentang siapa kita atau berhubungan kembali dengan yang lawas.

Cara Move On Cepat: Practice Generosity. Berlatih Kemurahan Hati

Ketika kita sedang ‘menderita’, kita bisa tersesat di dunia dan pikiran kita sendiri. Boro-boro menemukan cara move on cepat, kita malah terjebak di labirin.

Semakin kita bisa terhubung dengan orang lain, semakin kita bisa melupakan kepahitan hidup kita sendiri atau setidaknya menghentikan melebih-lebihkan dan berasumsi hal negatif  melulu.

Bermurah hati menyimpan manfaat healing yang mengejutkan. Menjadi sukarelawan bisa menjadi distraksi yang oke dan waktu kita jadi lebih berfaedah.

Bahkan sekadar mempraktikkan tindakan kedermawanan kecil di hari tertentu dapat meringankan bobot kesuraman hidup kita sehingga kita sanggup terus move on.

  1. Tersenyum pada orang yang menyajikan kopi kepada kita.
  2.  Memulai percakapan hangat dengan seseorang di kantor.
  3. Meluangkan waktu untuk bertanya kepada teman-teman tentang apa yang terjadi dalam hidup mereka.
  4. Membantu seseorang yang tersesat di sudut jalan

Semua itu adalah cara-cara substil dan positif untuk membawa kita keluar dari kepala kita, membikin kita merasa normal, dan merevisi opini kita pada dunia di sekitar kita.

Jadi, pertanyaan bagaimana cara move on cepat, sudah terjawab kan, Gaes?

Leave a Reply

Your email address will not be published.