Cetakan Jeli Isi Percaya (Cerpen)

cerpen-fiksi

Saat gue menarik  dan mengulur bagian dari tubuh paragraf lengkap, sebenarnya gue sedang menyusun puzzle.   Semungil apapun kata yang terselip,  selemas apapun kalimat yang menjalar, fakta-fakta itu akan mengalir begitu deras di sel-sel kelabu dalam otak gue,  sehingga gue seringkali merasa mual.

By: Sarah Sastrodiryo

“Gue kadang nggak tahu cara memberi napas di sebuah relasi, gue seringkali, akhirnya merasa ilfil,” keluh gue pada sahabat gue.

“Mungkin sebaiknya elo jangan terlalu banyak berpikir, ya udah jalanin aja.” Sarannya suatu ketika, saat kami makan malam bersama.

“Sebusuk-busuknya lelaki adalah yang hanya mengincar seks doang, dan ini sering gue temuin akhir-akhir ini.” Omel gue.

“Terus?” Tanyanya dengan menaikkan sebelah alisnya.

“Terus gue ilfil. Abis itu males lah. The end!”

Gue menelan ludah. Gue tidak pernah ingin melakukan ini. Tidak pada sebuah hubungan sungguhan. Perlukah gue tidak usah melibatkan pola pikir matematika— spesializing-conjecturing-generalizing-convincing—pada kisah cinta gue selanjutnya?  Mungkinkah gue bikin saja kepercayaan itu dari cetakan jeli gemuk.Tak perlu bersusah payah. Cukup dengan mengeluarkan sebongkah rasa percaya saat gue perlu, dan, voila, gue tidak akan kehilangan rasa lagi. Sungguh praktis dan efisien.

“Tapi sebenernya, gue pengen jatuh cinta lagiI would like to have the desire to love someone.” Gue mendorong secangkir kopi espresso  ke samping, dan mulai menggambar sebuah bagan di hadapan sahabat gue.

“Pertanyaan besarnya, Chika, apakah dengan elo punya mesin pencetak rasa percaya, lantas lo tinggal comot saat lu perlu itu sudah bisa menyelesaikan masalah?” cetusnya dengan kening berkerut.

“Tapi seenggaknya gue bisa mencoba cara itu.”

“Percaya sama gua. Itu bukan solusi yang solutif.”

“Bagaimana mungkin gue tau itu tidak solutif kalau gue belum mencoba?”

Sahabat gue tidak menjawab, dia hanya memberikan tatapan menjewer di tengah hiruk pikuk pengunjung Mall Kota Kasablanka.

Sumber Gambar

Segala sesuatu tampaknya terjadi dalam gerak lambat selagi, seperti robot, gue memindahkan data yang harus gue analisa dengan pivot. Di tengah hectic-nya pekerjaan, gue sangat berharap gue dapat mengingat cara jatuh cinta dengan tepat. Sahabat gue masih “menjerit histeris” saat mengetahui gue melakukan perbuatan nekat—gue nekat membuat cetakan rasa percaya—Kalimat tanya jumbo berdiri di belakang gue, terisak-isak, semua logika ditinggalkan di sebelah selimut manipulasi. Nurani adalah satu-satunya organ tubuh yang tidak bersuara. Ia berlutut di sana, begitu pucat sehingga tampak seperti mayat.

Namun akhirnya ia tak tahan juga. Ia membentakku.

“Lo tahu apa yang lo kerjain?” Suara Nurani begitu sebal namun juga ketakutan sehingga gue nyaris tidak mengenalinya.

“Ku…kurasa begitu,” jawab gue.

Tetapi nyatanya gue tidak tahu.

Yang gue tahu hanyalah gue mungkin menaruh harapan bahwa gue dapat merasakan cinta lagi.

Itu saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published.