Stop Galau dan Gelisah ala Dale Carnegie

Stop-Galau-dan-Gelisah-ala-Dale-Carnegie

Stop galau dan gelisah ala kakek Dale Carnegie ini efektif, Sob. Bukan hanya karena tulisannya masih bisa diterapkan hingga detik ini, tetapi juga dijelaskan dengan sangat akurat dan bisa diaplikasikan sekarang juga. Kalian perlu membuka wawasan baru jika ingin mengubah hidup menjadi lebih oke.

Untuk membaca bagian sebelumnya klik di sini dan di sini.

Nasihat stop galau itu menyelamatkan saya secara fisik dan mental selama perang; dan sekarang berkontributif pada posisi saya dalam bisnis. Saya seorang a Stock Control Clerk atau Pegawai Kontrol Saham untuk Perusahaan Kredit Komersial di Baltimore.

Saya menemukan problem yang sama muncul lagi dalam bisnis, yang mana menjedul juga selama perang: sebundel tugas harus dilakukan sekaligus—dan sialnya, hanya ada sedikit waktu untuk menamatkannya. Hah gimana saya bisa stop galau jika begini. Ini dia kondisinya:

  1. Stok kami rendah.
  2. Ada segepok formulir baru yang harus ditangani.
  3. Pengaturan suplai baru.
  4. Perubahan alamat.
  5. Pembukaan dan penutupan kantor, dan sebagainya.

Alih-alih menjadi tegang dan gugup, saya ingat apa yang dokter katakan kepada saya.

“One grain of sand at a time. One task at a time.”

 “Satu butir pasir pada satu waktu.” Hanya mengerjakan satu tugas dalam satu waktu. Multitasking? Haram!

Dengan mengulangi kalimat itu kepada diri saya berulang kali, saya menyelesaikan tugas saya dengan cara yang lebih efisien dan saya ngerjain pekerjaan saya tanpa perasaan bingung dan campur aduk yang mana hampir melumatkan saya di medan perang.”

Salah satu komentar yang mengerikan banget adalah bahwa pola hidup kita saat ini udah sangat berantakan. Buktinya, setengah dari seluruh tempat tidur di rumah sakit disediakan untuk pasien dengan masalah saraf dan mental—pasien yang telah kolaps di bawah beban berat dari akumulasi kemarin dan hari esok yang super seram.

Namun, sebagian besar dari orang-orang itu akan beredar di jalanan hari ini dengan tralala-trilili, jika mereka sudi mengindahkan kata-kata Nabi Isa atau Yesus, “jangan khawatir tentang besok,” atau kata-kata Sir William Osier. “Hidup hanya untuk hari ini saja.”

You and I are standing this very second at the meeting-place of two eternities: the vast past that has endured for ever, and the future that is plunging on to the last syllable of recorded time.

Anda dan saya berdiri di detik ini, di tempat pertemuan dua keabadian: masa lalu yang luas yang telah bertahan selama-lamanya, dan masa depan yang mengarah pada suku kata terakhir dari waktu yang tercatat.

Kita nggak mungkin hidup dalam kedua kekekalan itu—tidak, bahkan untuk sepersekian detik pun kita nggak akan pernah sanggup. Tetapi, dengan nyoba ngelakuin itu, kita malah meremukkan tubuh dan pikiran kita sendiri. Jadi mari menikmati satu-satunya yang bisa kita nikmati: dari detik ini sampai tidur.

“Siapa pun dapat memikul bebannya, betapapun kerasnya, sampai malam tiba,” tulis Robert Louis Stevenson.

“Siapa aja pasti sanggup ngerjain pekerjaannya, sekeras apa pun, untuk satu hari. Siapa pun dapat hidup dengan super sweet, sabar, penuh kasih, pure, sampai matahari terbenam. Dan inilah yang sesungguhnya dimaksudkan oleh kehidupan.”

Ya, hanya itulah yang dituntut kehidupan dari kita; tetapi Ny. E. K. Shields, 815, Court Street, Saginaw, Michigan, terdorong keputusasaan—bahkan ke ambang bunuh diri—-sebelum dia belajar untuk hidup hanya sampai sebelum tidur aja.

“Pada tahun 1937, saya kehilangan suami saya,” kata Mrs. Shields ketika dia menceritakan kisahnya kepada saya, “Saya sangat tertekan—dan nyaris nggak punya uang sepeser pun. Saya menulis kepada mantan majikan saya, Mr. Leon Roach, dari Roach-Fowler Company of Kansas City, dan mendapatkan kembali pekerjaan lama saya. Sebelumnya saya mencari nafkah dengan menjual buku ke dewan sekolah desa dan kota.

Sesungguhnya, saya udah terlanjur menjual mobil saya dua tahun sebelumnya, ketika suami saya sakit; tetapi saya berhasil menabung uang muka untuk membeli mobil bekas dan mulai menjual buku lagi.

“Saya telah berpikir bahwa kembali ke jalan akan membantu meringankan depresi saya; tetapi mengemudi sendirian dan makan sendirian ternyata malah membikin saya makin tertekan. Beberapa wilayah itu nggak produktif, dan saya merasa sulit untuk membayar mobil itu, walaupun cicilannya kecil.

“Pada musim semi 1938, saya bekerja dari Versailles, Missouri. Sekolahnya buruk, jalanannya jelek; Saya sangat kesepian dan pesimis, sehingga pada suatu waktu saya bahkan mempertimbangkan bunuh diri aja lah. Sukses? Apa itu sukses? Sukses tampak jauh dan mustahil banget. Hanya delusi.

I had nothing to live for. Saya tidak punya apa-apa untuk hidup. Saya takut bangun setiap pagi dan menghadapi kehidupan.

  1. Saya takut segalanya.
  2. Takut saya tidak bisa memenuhi pembayaran mobil.
  3. Takut saya tidak bisa membayar sewa kamar saya.
  4. Takut tidak akan punya cukup makanan.
  5. Saya takut kesehatan saya menurun dan saya tidak punya uang untuk membayar dokter.

Yang ngebikin saya nggak bunuh diri adalah pikiran bahwa saudara perempuan saya akan sangat berduka, plus saya juga nggak punya cukup punya uang untuk membayar biaya pemakaman saya.

“Lalu suatu hari saya membaca sebuah artikel yang mengangkat saya dari depresi dan itu membuat saya berani untuk terus hidup. Saya nggak akan pernah berhenti bersyukur atas satu kalimat yang menginspirasi dalam artikel itu.

Yang ialah, “setiap hari adalah kehidupan baru bagi orang bijak.”

Saya mengetik kalimat itu dan menempelkannya di kaca depan mobil saya, di mana saya melihatnya setiap menit ketika saya mengemudi. Saya pikir nggak begitu sulit untuk hidup hanya  untuk satu hari.

Saya belajar untuk melupakan hari kemarin dan nggak mikirin hari esok. Setiap pagi saya berkata pada diri saya sendiri, “hari ini adalah kehidupan baru.”

“Saya telah berhasil mengatasi ketakutan saya akan kesepian, hysteria karena ingin ini itu. Saya bahagia, sukses, antusias, dan cinta hidup. Saya tahu sekarang bahwa saya nggak akan pernah takut lagi, terlepas dari apa yang hidup berikan kepada saya. Saya tahu sekarang bahwa saya nggak perlu takut akan masa depan. Intinya saya sudah stop galau dan gelisah.

Toh saya dapat hidup satu hari dalam satu waktu—dan bahwa, “setiap hari adalah nyawa baru bagi orang bijak.”

Menurut Anda, siapa yang menulis ayat ini: “bahagianya pria itu, bahagia dia sendiri, Dia, yang bisa memanggil hari-nya sendiri: Dia yang, merasa aman di bathn, dapat mengatakan: “Besok, lakukan yang terburuk, karena aku sudah hidup hari ini.”

Kata-kata itu terdengar modern, bukan? Namun itu ditulis tiga puluh tahun sebelum Nabi Isa dilahirkan, oleh penyair Romawi Horace.

Salah satu hal paling tragis yang saya ketahui tentang sifat manusia adalah kita semua bertendensi menunda hidup. Kita semua memimpikan taman mawar ajaib di cakrawala—bukannya menikmati mawar yang bermekaran di luar jendela kita hari ini.

Kenapa kita ini bodoh—orang bahlul, eh ditambah tragis pula? “

“Betapa anehnya, prosesi kecil kehidupan kita,” tulis Stephen Leacock.

  • Anak itu berkata, “ketika aku sudah besar.”
  • Tapi setelah itu apa? Bocah lelaki itu menjawab, “Saat aku dewasa.”
  • Dan kemudian, setelah dewasa, dia berujar, “Ketika saya menikah.”
  • Tetapi setelah menikah, lalu apa? Pikiran berubah menjadi, “ketika saya bisa pensiun.”
  • Dan kemudian, ketika pensiun datang, dia melihat kembali pemandangan yang dilaluinya; angin dingin sepertinya menyapu; entah bagaimana dia telah melewatkan semuanya, dan itu hilang.
  • Hidup, kita udah terlambat, ada dalam kehidupan, dalam jaringan setiap hari dan jam.”

Almarhum Edward S. Evans dari Detroit hampir bunuh diri karena khawatir, sebelum dia tau bahwa hidup, “ada dalam kehidupan, dalam jaringan setiap hari dan jam.”

Dibesarkan dalam kemiskinan, Edward Evans menghasilkan uang pertamanya dengan menjual koran, kemudian bekerja sebagai pegawai toko bahan makanan.

Pada akhirnya, dengan tujuh orang bergantung padanya untuk membeli roti dan mentega, ia mendapat pekerjaan sebagai asisten pustakawan. Meski upahnya kecil banget, ia takut untuk berhenti. Delapan tahun berlalu sebelum dia bisa mengumpulkan keberanian untuk memulai sendiri. Tetapi begitu dia mulai, dia membangun investasi awal senilai lima puluh lima dolar uang pinjaman untuk berbisnis, dan ia melipat-ganda-kannya menjadi dua puluh ribu dolar setahun.

Then came a frost, a killing frost.

Lalu datanglah salju yang beku, es yang membunuh. Sayangnya, ia terlanjur mendukung a big note untuk seorang teman-dan si teman itu bangkrut. Segera setelah bencana itu, datanglah bencana lain: bank tempat ia menyimpan semua uangnya bangkrut.

Dia tidak hanya kehilangan setiap sen yang dimilikinya, tetapi juga jatuh ke dalam hutang sebesar enam belas ribu dolar. Sarafnya tidak bisa menahan cobaan super berat ini. “Aku tidak bisa tidur atau makan,” katanya.

“Anehnya, aku menjadi sakit. Khawatir dan tidak ada yang lain selain khawatir,” katanya, “menyebabkan lahirnya penyakit ini. Suatu hari ketika aku sedang berjalan di jalan, aku pingsan dan jatuh di trotoar. Aku tidak lagi bisa berjalan.”

Aku terbaring di tempat tidur dengan tubuh penuh dengan bisul, borok dan nanah. Bisul-bisul ini berputar ke dalam sampai aku hanya sanggup berbaring di tempat tidur, saat itu adalah agony atau momen-penuh-penderitaan-super-duper-menderita-yang-tak-tertahankan. Setiap hari, aku semakin lemah.

Akhirnya, dokter saya memberi tahu saya bahwa untuk stop galau dan gelisah, saya harus mengerti bahwa saya hanya punya waktu dua minggu saja untuk hidup. I was shocked. Saya terkejut. Saya menyusun wasiat, dan kemudian berbaring di tempat tidur untuk menunggu ajal. Sekarang, nggak ada gunanya untuk berjuang atau khawatir. Saya menyerah, rileks, dan pergi tidur. Saya belum tidur selama dua jam berturut-turut selama berminggu-minggu; tetapi sekarang karena masalah duniawi saya berakhir, saya tidur seperti bayi. Kelelahan saya yang melelahkan banget itu pun mulai menghilang. Nafsu makan saya kembali.

Berat badan saya bertambah. “Beberapa minggu kemudian, saya bisa berjalan dengan kruk. Enam minggu kemudian, saya bisa kembali bekerja. Saya telah menghasilkan dua puluh ribu dolar setahun; tetapi anehnya, sekarang saya senang mendapatkan pekerjaan dengan upah tiga puluh dolar seminggu. Saya mendapat pekerjaan menjual balok untuk diletakkan di belakang roda mobil ketika dikirim dengan kargo.

Sekarang, saya telah belajar sebuah teladan. Saya nggak pernah lagi merasa waswas—tidak ada lagi penyesalan tentang apa yang telah terjadi di masa lalu—tidak ada lagi ketakutan akan masa depan. Saya memusatkan seluruh waktu, energi, dan antusiasme saya untuk menjual balok-balok itu.”

Edward S. Evans melesat cepat sekarang. Dalam beberapa tahun, ia menjadi presiden perusahaan.

Perusahaannya—the Evans Product Company—telah terdaftar di New York Stock Exchange selama bertahun-tahun.

Ketika Edward S. Evans meninggal pada tahun 1945, ia adalah salah satu pebisnis paling progresif di Amerika Serikat. Jika Anda pernah terbang di atas Greenland, Anda bisa mendarat di Evans Field—sebuah lapangan terbang yang dinamai untuk menghormatinya.

Inilah inti ceritanya: Edward S. Evans tidak akan pernah sukses dalam bisnis dan kehidupan ini, jika dia tidak menyadari bahwa khawatir adalah tindakan yang menyesatkan dan bodoh—jika dia tidak belajar untuk hidup untuk  hari ini saja.


Lima ratus tahun sebelum nabi Isa dilahirkan, filsuf Yunani Heraclitus mengatakan kepada murid-muridnya bahwa “semuanya berubah kecuali hukum perubahan”. Dia berkata: “Anda tidak dapat melangkah di sungai yang sama dua kali.”

Sungai berubah setiap detik; dan begitu pula orang yang melangkah di dalamnya. Hidup adalah fluktuasi tanpa henti. Satu-satunya kepastian adalah hari ini. Mengapa merusak keindahan hidup hari ini dengan mencoba memecahkan masalah masa depan yang diselimuti oleh perubahan dan ketidakpastian yang tak henti-hentinya—masa depan yang tak seorang pun bisa meramalkannya?

Orang-orang Romawi kuno memiliki kata untuk itu. Faktanya, mereka punya dua kata untuk itu.

Carpe diem. “Nikmati hari.”
Atau, “Rebut hari ini.”
Ya, raih hari itu, dan manfaatkan sebaik-baiknya.
Itulah filosofi Lowell Thomas.

Saya baru-baru ini menghabiskan akhir minggu di ladangnya; dan saya perhatikan bahwa dia memiliki kata-kata dari Mazmur CXVIII yang dibingkai dan digantung di dinding studio siarannya di mana dia akan sering melihatnya: Ini adalah hari yang Tuhan buat; kami akan bersukacita dan senang karenanya.

John Ruskin di atas mejanya memajang sepotong batu sederhana yang diukir satu kata: TODAY atau  HARI INI.

Dan sementara saya tidak memiliki sepotong batu di meja saya, saya memiliki sebuah puisi yang ditempelkan di cermin saya di mana saya bisa melihatnya ketika saya mencukur setiap pagi—sebuah puisi yang selalu disimpan Sir William Osier di atas mejanya—sebuah puisi yang ditulis oleh pemain drama India yang terkenal, Kalidasa: Salutation To The Dawn. Ini bisa sangat efektif untuk stop galau dan gelisah.



Look to this day!

Lihatlah hari ini!

For it is life, the very life of life.

Karena itu adalah hidup, kehidupan yang sesungguhnya.

In its brief course Lie all the verities and realities of your existence:

Dalam perjalanan singkatnya, semua kebenaran dan realitas keberadaan Anda tampak bohong.
The bliss of growth.

Kebahagiaan bertumbuh

The glory of action.

Kemuliaan beraksi

The splendour of achievement.

Kemegahan prestasi.

For yesterday is but a dream.

Kemarin hanyalah mimpi

And tomorrow is only a vision.

Dan besok hanyalah sebuah visi

But today well lived makes yesterday a dream of happiness.

Tapi hari ini hidup dengan baik dari kemarin mewujudkan mimpi menjadi hepi

And every tomorrow a vision of hope.

Dan setiap hari esok adalah visi yang penuh harapan.

Look well, therefore, to this day!

Karena itu, perhatikan baik-baik, sampai hari ini!
Such is the salutation to the dawn.

Itulah salam bagi fajar.

Jadi, hal pertama yang harus Anda ketahui tentang stop galau dan gelisah adalah ini: jika Anda ingin menjauhkannya dari hidup Anda, lakukan apa yang Sir William Osier lakukan.

Tutup pintu besi di masa lalu dan masa depan.

Stop galau dan gelisah dengan hidup hanya untuk 24 jam saja. Mengapa tidak bertanya pada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan ini, dan menuliskan jawabannya?

  • Apakah saya cenderung menunda hidup di masa sekarang untuk mengkhawatirkan masa depan, atau merindukan “kebun mawar ajaib di cakrawala”? Jika iya, saya tidak stop galau, tapi sengaja menyuburkannya.
  • Apakah saya terkadang merasa pahit saat ini dengan menyesali hal-hal yang terjadi di masa lalu-yang sudah berlalu dan selesai?
  • Apakah saya bangun di pagi hari bertekad untuk “Seize the day” atau”Rebut hari ini”—untuk mendapatkan hasil maksimal dari dua puluh empat jam ini?
  • Bisakah saya mendapatkan lebih banyak dari kehidupan dengan hanya dengan memanfaatkan 24 jam sebaik-baiknya?
  • Kapan saya mulai melakukan ini? Minggu depan?… Besok?… Hari ini?

Leave a Reply

Your email address will not be published.