Diabetes dan PCOS, plus Wanita Berjenggot

Diabetes-dan-PCOS-plus-Wanita-Berjenggot

Diabetes dan PCOS, plus wanita Berjenggot dianggap mempunyai korelasi sangat erat. Sindrom ovarium polikistik (PCOS) sendiri sering diterka sebagai penyakit kekinian, tetapi sebenarnya, merupakan turbulensi’ kuno. Nyatanya, PCOS telah dibahas dari berabad-abad silam, lho.

Awalnya dideskripsikan sebagai kuriositas ginekologi atau ilmu-kandungan-yang-bikin-penasaran, lama-kelamaan ia telah berevolusi menjadi problematika endokrin yang paling universal pada wanita muda, yang melibatkan sistem organ kompleks alias bukan hanya di rahim aja.

Di Yunani kuno, bapak kedokteran modern, Hippocrates (460BC-377BC), menggambarkan “wanita yang menstruasi kurang dari tiga hari atau kuantitasnya sedikit, ramping gagah, perkasa, tampak berotot dengan kulit yang sehat dan penampilan maskulin; namun sayangnya, mereka tidak bisa melahirkan anak-anak dan mereka juga nggak mampu hamil.”

Deskripsi PCOS ini ada tidak hanya di Yunani kuno, tetapi kedapatan dalam teks kedokteran kuno di seluruh dunia. Soranus dari Efesus (sekitar 98-138 M), berlokasi dekat Turki modern, mengamati “bahwa mayoritas dari mereka (wanita) nggak bisa haid, tampak seperti wanita yang keliatan kayak cah lanang atau tampak jantan dan steril”.

Ahli-bedah-sekaligus-tukang-cukur-plus-dokter-kebidanan dari Prancis yaitu Ambroise Paré (1510-1590 AD) mencatat bahwa banyak wanita infertil dengan menstruasi nggak teratur cirinya adalah “gemuk, atau wanita adam; oleh karena itu suara mereka lantang dan dalam, serupa seorang pria, dan mereka menjadi berjanggut .”

Ini deskripsi yang cukup akurat dari seorang dokter yang tampaknya bisa memangkas rambut Anda, memotong kaki Anda, atau melahirkan anak-anak. lmuwan Italia Antonio Vallisneri menghubungkan fitur-fitur masculinizing ini dengan bentuk ovarium abnormal menjadi penyakit tunggal.

By: Dokter Jason Fung (Diabetes of Bearded Women – PCOS 2)

Dia menggambarkan beberapa wanita tani muda yang sudah menikah dan tidak subur dengan indung telur berkilau dengan permukaan putih dan ukuran sebesar telur merpati.
Pada tahun 1921, Achard dan Thiers mendeskripsikan sindrom dengan karakteristik fundamental-nya:

  1. Jerawat
  2. Botak
  3. Rambut wajah berlebihan dan
  4. Diabetes tipe 2.
Sumber Gambar

Kasus lebih mendalam pada tahun 1928 menyemen hubungan antara PCOS dengan diabetes tipe 2 dan ditandaskan dalam artikel klasik ‘Diabetes Wanita Berjanggut’. Observasi yang cermat telah mengungkapkan kepada para dokter yang cerdik ini sebuah sindrom yang fitur utamanya termasuk menstruasi yag semrawut (sekarang dikenal sebagai siklus anovulasi), infertilitas, fitur laksana cowok (pertumbuhan rambut), dan kekakuan (obesitas) dengan diabetes tipe 2.

Satu-satunya ciri khas penting yang mereka lewatkan dari PCOS adalah mereka nggak bisa melihat kista di ovarium, karena pada saat itu, pencitraan non-invasif sederhana super kurang.

Diabetes dan PCOS di Era Modern

Drs. Stein dan Leventhal menggagas era modern PCOS pada tahun 1935 dengan deskripsi mereka tentang 7 wanita dengan semua sifat khas PCOS kekinian—fitur kayak cowok, menstruasi acak-acakan dan ovarium polikistik atau adanya kista di rahim. Terobosan terjadi dengan membuat hubungan antara menstruasi yang bolong-bolong, indung telur yang menggembung dan memberkasnya menjadi satu sindrom—PCOS.

Pada saat itu, deteksi kista di ovarium yang membengkak menjadi hal yang misterius dan Stein dan Leventhal mencapai ini, yaitu dengan cara:

  1. Pengamatan bedah langsung (laparotomi) atau
  2. Mengaplikasikan pneumoroentgenography yaitu teknik x-ray, yang sekarang yang sudah mati. Prosedur ini dibuat dengan menyayat perut untuk memasukkan udara dan kemudian x-raysdibenamkan.

Untungnya, bayangan dari ovarium yang membelendung sekarang bisa dilihat. Namun, di era sebelum antibiotik yang efektif, ini adalah prosedur yang berisiko. Dr. Stein berhipotesis bahwa beberapa ketidakseimbangan hormon memicu ovarium menjadi kista, dan dia menyarankan bahwa pembedahan untuk mengangkat irisan ovarium dapat membantu mengusir sindrom. Dan memang, operasi kasar ini efektif. Tujuh wanita mulai menstruasi lagi dan bahkan dua hamil.

Dengan ciri esensial yang ditentukan, minat PCOS menanjak sebagaimana tercermin dari melonjaknya artikel PCOS dalam literatur medis. Selanjutnya, Drs. Stein dan Leventhal melakukan reseksi wedge ovarium pada 75 wanita lainnya, hasilnya adalah siklus menstruasi pada 90% kasus pulih, dan kesuburan menjadi lebih tokcer, presentasenya sekitar 65%.

Mendefinisikan sindrom dan memotret pengobatan yang masuk akal adalah suatu performa yang apik, lantas, dikenal sebagai Sindrom Stein-Leventhal. Tetapi, dengan mencuatnya solusi medis modern, terutama obat clomiphene citrate, reseksi irisan ovarium saat ini jarang dilakukan.

Tahun 1960-an dan 1970-an, teknik radioimmunoassay yang membludak memungkinkan untuk mendeteksi lebih mudah kelainan hormonal khas PCOS. Penampilan maskulin lazimnya disebabkan oleh hormon seks pria yang eksesif yang disebut androgen, di mana testosteron adalah yang paling dikenal.

Diagnosis biokimia PCOS dilematis karena kadar androgen hanya sedikit mengangkasa dan tidak dapat diandalkan karena variasi mereka seharian dan sepanjang siklus menstruasi. Namun, efek androgen yang berlebihan jelas dalam fitur maskulinisasi dari wanita ini (jerawat, kebotakan pola pria, pertumbuhan rambut wajah), tetapi mengukur androgen ini enggak konstruktif untuk diagnosis PCOS.

Pada 1980-an, menumpuknya ketersediaan ultrasound-real-time merevolusi diagnosis PCOS. Laparotomi tidak lagi diperlukan untuk memastikan indung telur yang membusung. Pada tahun 1981, Swanson menstandardisasi definisi ovarium polikistik pada ultrasound yang memungkinkan peneliti untuk membandingkan kasus dengan enteng.

Penyempurnaan selepas itu termasuk pengenalan ultrasound trans-vagina jauh lebih unggul untuk mendeteksi kista ovarium. Teknologi ini sanggup membeberkan dengan segera bahwa banyak perempuan normal lainnya juga memiliki berlimpahnya kista di indung telur mereka. Hampir ¼ penduduk memiliki ovarium polikistik, tetapi tanpa hanya kista, tanpa gejala lain, dan ini dianggap normal.

Dengan demikian, kita harus mengetahui perbedaan signifikan antara ovarium polikistik, dan sindrom ovarium polikistik (PCOS). Tahun 1980-an juga membuat kita sanggup mengestimasi sebuah revolusi pada wawasan kita tentang pilar dari PCOS. Penyakit ini awalnya ditafsir lantaran oleh paparan bombastis janin perempuan terhadap androgen, tetapi hipotesis ini akhirnya dibantah.

Sebaliknya, penelitian semakin membuktikan adanya ikatan kuat antara PCOS versus resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Awalan ‘hyper’ berarti ‘terlalu banyak’, dan akhiran ‘-emia’ berarti ‘dalam darah’, jadi kata ‘hyperinsulinemia’ secara harfiah berarti ‘terlalu banyak insulin dalam darah’.

Sindrom ini dikenal dengan banyak nama yang berlainan, yaitu:

  1. Gangguan ovarium polikistik,
  2. Sindrom ovarium polikistik,
  3. Ovarium androgenisme fungsional,
  4. Hiperandrogenik,
  5. Anovulasi kronis,
  6. Sindrom ovarium polikistik,
  7. Sindrom dismetabolik ovarium,
  8. Sindrom ovarium polikistik sklerotik dan sebagainya

Ini secara bernas menghambat kemajuan ilmiah, karena para peneliti tidak tahu apakah mereka berbicara tentang penyakit yang sama. Standarisasi istilah diperlukan jika kita ingin menggelinding maju dalam identifikasi dan diagnosis yang akurat.

Langkah pertama diambil pada 1990 Institut Nasional Kesehatan Anak dan Pembangunan Manusia (NICHD) Conference di PCOS. Pada konferensi itu, kriteria konsensus termasuk secara spesifik merumuskan bahwa, seseorang dinyatakan mempunyai sindrom PCOS jika terbukti adanya:

  1. Kadar androgen yang tumpah-tumpah alias over kuantitas (gejala atau biokimia) dan
  2. Terjadi siklus ovulasi yang ganjil atau tidak ada yang periodik.

Karena gejala-gejala ini partikular untuk PCOS, sehingga penyakit lain bisa disisihkan. Kriteria yang dibuat NIH ini adalah lompatan besar ke hadapan. Klasifikasi yang korek memungkinkan kolaborasi internasional antara universitas dan peneliti. Menariknya, kriteria NIH nggak butuh bukti adanya kista, jelas merupakan perkara untuk penyakit yang dikenal sebagai sindrom ovarium polikistik (PCOS).

Pada tahun 2003, konferensi internasional kedua di PCOS diadakan di Rotterdam, Belanda. Dua ciri khas inovatif ditambahkan ke barometer konsensus yang sekarang dikenal sebagai kriteria Rotterdam.

  1. Itu mengoreksi pengawasan yang terang-terangan telah menyebutkan pasien Polycystic Ovary Syndrome sebenarnya mungkin memiliki kista.Hanya butuh 14 tahun untuk merevisi kesalahan minor
  2. Kedua, PCOS menyubtitusi spektrum penyakit dan tidak semua gejala dapat muncul pada semua pasien.

Dengan demikian, hanya dua dari tiga tolok ukur yang merupakan kebutuhan vital untuk mengklasifikasikan pasien sebagai PCOS. Ini termasuk hiperandrogenisme—dari awalan ‘Hyper’ yang berarti ‘terlalu banyak’ dan suffix isme’ yang berarti ‘keadaan’. Hiperandrogenisme secara harfiah, adalah suatu situasi dimana yang terlalu banyak androgen Oligo-anovulation – awalan ‘oligo’ yang berarti ‘sedikit’ dan ‘a’ yang berarti ‘tidak adanya’. Istilah ini berarti bahwa ada sedikit atau tidak ada siklus menstruasi ovulasi.

Pada tahun 2006, penyempurnaan lebih lanjut terhadap kriteria dibuat oleh Androgen Excess Society (AES) yang merekomendasikan bahwa hiperandrogenisme dianggap sebagai ciri klinis dan biokimia PCOS. Ini akan menjadi sine qua nonof PCOS. Tanpa bukti hiperandrogenisme, Anda tidak bisa membuat diagnosis.

Penyempurnaan ini memfokuskan para peneliti dan dokter pada pencetus komplikasi, bukan hanya ada atau tidaknya kista pada ovarium. Kriteria Rotterdam menganggap ketiga elemen utama sama dengan kriteria NIH, yang agak tua, jarang digunakan saat ini. Pada tahun 2012, Panel Ahli NIH merekomendasikan bahwa kriteria Rotterdam digunakan untuk diagnosis. Rekomendasi AES 2006 juga jamak digunakan, karena cukup mirip dengan kriteria Rotterdam.

Penting untuk dicatat di sini bahwa untuk menentukan apakah pasien tersebut menderita PCOS, adanya fakta bahwa pasien mengalami obesitas, resistensi insulin dan diabetes tipe 2 umumnya dicuekkin aja, meski sangat erat hubungannya dengan PCOS, anehnya mereka dianggap bukan bagian dari kriteria diagnostik.

Leave a Reply

Your email address will not be published.