Paradigma Kanker dan Tetek Bengeknya (8)

Paradigma-Kanker-dan-Tetek-Bengeknya

Paradigma kanker telah dianggap sebagai penyakit sejak zaman Mesir kuno. Manuskrip kuno dari abad ketujuh belas SM menggambarkan “massa yang menggembung di payudara”—yang diyakini sebagai deskripsi pertama kali untuk kanker payudara.

Sejarawan Yunani Herodotus, yang menulis sekitar 440 SM mencuraikan Atossa, ratu Persia yang menderita komplikasi, yang ditaksir merupakan kanker payudara yang meradang.

Dalam kuburan berusia seribu tahun di Peru, sisa mumi menampakkan tumor tulang. Jadi kanker berasal dari zaman kuno, tetapi kemungkinannya jarang banget, mengingat harapan hidup yang lebih pendek kala itu.

Tetapi penyebabnya nggak diketahui, kebanyakan masih nyalahin pada dewa-dewa jahat. Berabad-abad kemudian, bapak kedokteran Yunani Hippocrates (ca 460 SM – ca 370 SM) mengungkapkan segenap klasifikasi kanker ngegunain kata karkinos yang berarti kepiting. Ini adalah deskripsi akurat tentang kanker yang mana cukup mengejutkan, Sob.

Kanker mikroskopis memanjang dari sekumpulan spikula dari sel baku dan dicomot dengan setrong banget ke jaringan yang berdekatan, lantas diperiksa.

Pada abad kedua M, dokter Yunani Galen pakek istilah oncos (pembengkakan) karena kanker sering dapat dideteksi sebagai nodul keras di bawah kulit, di payudara, dll. Dari akar inilah onkologi, onkologis, dan onkologik berasal. Juga, Galen memakai akhiran-oma untuk ngasih simbol suatu kanker.


Celsus (ca 25 SM – ca 50 AD) seorang ensiklopedia Romawi yang menulis teks medis De Medicina, menerjemahkan istilah Yunani ‘karkinos’ menjadi ‘kanker’, kata Latin untuk kepiting.

By: Dokter Jason Fung (Cancer Paradigms – Cancer 8)

Ketika mencoba memahami penyulut penyakit, orang-orang Yunani kuno percaya banget pada Teori Humoral. All diseases resulted from an imbalance of the four humours—blood, phlegm, yellow bile and black bile. Semua penyakit dihasilkan dari ketidakseimbangan empat humoral—darah, dahak, empedu kuning dan empedu hitam.

Paradigma Kanker di zaman mesir kuno
Sumber Gambar: timothyrjeveland.com. Ini adalah dasar penyakit Yunani Kuno
  • Peradangan adalah akibat dari terlalu banyak darah.
  • Pustula—terlalu banyak dahak.
  • Penyakit kuning—terlalu banyak empedu kuning.
  • Kanker dianggap sebagai kelebihan internal empedu hitam.

Akumulasi empedu hitam lokal ini akan dilihat sebagai tumor, tetapi problem ini adalah penyakit sistemik dari seluruh tubuh. Treatmentnya, oleh karena itu ditargetkan untuk mengeliminasi kelebihan sistemik ini, termasuk ‘oldies but goodies’, blood letting, purging and laxatives, melepaskan darah, membersihkan, dan pencahar.

Perawatan lokal seperti eksisi nggak akan berhasil karena itu adalah komplikasi sistemik. Sekali lagi, sebuah komentar maha-menguncangkan-di-atas-yang-paling-menguncangkan tentang sifat kanker.

Ini nyelamatin banyak pasien operasi kanker, tapi tetep aja, Sob, ini adalah hal yang cukup mengerikan di Roma kuno.

  • Tidak ada antiseptik.
  • Nggak ada anestesi.
  • Tidak ada analgesik—yikes.

Pandangan keseluruhan penyakit ini berlangsung selama berabad-abad, tetapi ada problematika gigantis. Investigasi anatomi nemuin 3 dari 4 humor—darah, getah bening dan empedu kuning. Tapi di mana sih si empedu hitam itu?

Paradigma kanker sebagai penyakit kelebihan pertumbuhan

Dokter mencari dan mencari dan nggak bisa juga mendapati solusinya. Tumor, digali-dibongkar secara lokal yang mana organ ginjal didedel-duwel dan diperiksa, tetapi di mana empedu hitam? Nggak ada yang sanggup menemukan bukti fisik empedu hitam. Secara hukum, ada istilah ‘habeas corpus’ yang berarti (dari bahasa Latin) ‘memiliki tubuh’.

Lantas, jika empedu hitam adalah awal dasar penyakit, di mana ya dia ngumpetnya?

Pada 1700-an, Lymph Theory meraup spotlight atau sorotan, dikembangkan oleh Hoffman dan Stahl. Bagian cairan tubuh (darah dan getah bening) selalu berputar di seluruh tubuh. Kanker dipercaya terjadi ketika getah bening nggak bersirkulasi dengan elok. Dia statis dan kemudian ngalamin fermentasi dan degenerasi getah bening diyakini melahirkan sang kanker.

Pada 1838, fokus dipindahkan ke sel, sementara meneliti cairan tubuh mulai ditinggalkan, ini dikenal dengan nama Teori Blastema. Ahli patologi Jerman, Johannes Muller mengekspos bahwa kanker nggak dipicu oleh getah bening, tetapi berasal dari sel. Belakangan ketauan bahwa sel kanker ini berasal dari sel lain. Dengan kesadaran bahwa kanker hanyalah sel, dokter mulai ngebayangin bahwa mereka dapat menggeratak penawarnya.

Paradigma Kanker dan Tetek Bengeknya
Sumber Gambar: foodiesfeed

Dengan munculnya anestesi modern dan anti-septik, operasi telah diubah dari pengorbanan ritual barbar menjadi prosedur medis yang cukup masuk akal.

Tapi ada masalah.

Kanker pasti akan kembali, biasanya pada margin bedah yang direseksi. Jika ada kanker yang terlihat tersisa setelah operasi, benda terkutuk itu akan selalu balik maning.

Pada tahun 1860-an, operasi kanker telah menjadi semakin radikal dan extensive hacking atau ngehack jaringan jadi kian normal untuk menghempas semua tumor yang tertampak.


William Halsted, seorang ahli bedah yang menangani kanker payudara berpikir dia punya jalan keluar. Kanker seperti kepiting—ngirimin penjepit mikroskopis ke jaringan yang berdempetan yang nggak kelihatan, mengakibatkan kekambuhan yang tak terelakkan. Nah, dengan paradigma yang salah kaprah ini, mereka jadi bertanya-tanya, mengapa semua jaringan yang mungkin terkena nggak digunting aja, kalo perlu, bahkan jika tidak ada bukti keterlibatan sama sekali. Ini disebut operasi ‘radikal’, dari arti Latin asli ‘root’.

Ada logikanya kok untuk itu.

Mastektomi radikal—mengangkat payudara dan semua jaringan di sekitarnya— bisa jadi meninggalkan bekas jelek dan sakit banget, ditambah ada alternatif lain yaitu kematian. Itu adalah kebaikan yang salah arah. Halsted mencedok semua hasil dan pada tahun 1907, lalu mempresentasikannya ke Asosiasi Bedah Amerika.


Pasien yang kankernya nggak menyebar ke leher atau kelenjar getah bening melakukannya dengan sangat brilian. Tetapi orang-orang dengan penyebaran metastasis buntutnya malah buruk, dan luas operasi seringnya nggak relevan dengan pengaruh keseluruhan. Penyakit lokal bekerja dengan tampan dengan terapi lokal seperti operasi.

Sekitar waktu yang sama, pada tahun 1895, Röntgen menemukan X-rays—bentuk energi adi luhung dari radiasi elektromagnetik. Itu nggak eksplisit, tetapi tetep aja dapat merusak dan membunuh jaringan hidup. Pada 1896, hampir 1 tahun kemudian, seorang mahasiswa kedokteran, Emil Grubbe menguji kreasi baru ini. Pada tahun 1902, dengan penemuan radium Curies, x-ray yang lebih kekar dan presisi dapat “dibiakkan”.

Ini memunculkan adanya alternatif menggiurkan bahwa kanker bisa diledakkan dengan sinar-X dan bidang anyar radiasi onkologi telah lahir. Horeeeee. Problem yang sama seperti yang telah befallen atau terjadi pada seseorang, menggebuk upaya bedah untuk terapi menjadi tegas. Meskipun Anda dapat membobol tumor lokal, itu akan segera kambuh.

Yaelah, percuma aja dong.

Jadi, treatment domestik, pembedahan atau radiasi hanya bisa ngobatin penyakit awal, sebelum menyebar. Begitu menjalar, sudah terlambat untuk aksi seperti itu. Jadi pelacakan untuk agen sistemik yang dapat membunuh kanker.

Hal urgen adalah sesuatu yang dapat didrop ke seluruh jengkal anggota tubuh—kemoterapi.

Solusi pertama datang dari sumber yang mustahil—gas mustard beracun mematikan dari Perang Dunia I. Gas tak berwarna ini berbau mustard atau lobak. Pada tahun 1917, Jerman melemparkan peluru artileri yang dipenuhi dengan gas mustard pada pasukan Inggris di dekat kota kecil Ypres. Membikin melepuh dan membakar paru-paru, dan kulit, tetapi juga bertendensi khusus untuk secara selektif ngehancurin bagian-bagian dari sumsum tulang, sel-sel darah putih. Bekerja dengan turunan kimia dari gas mustard, para ilmuwan di tahun 1940-an mulai mengobati kanker sel darah putih, yang disebut limfoma.

Itu berhasil, tetapi hanya untuk sementara waktu. Sekali lagi, limfoma akan membaik, tetapi pasti kambuh lagi. Tapi itu awal. Konsep itu setidaknya sudah terbukti.

Agen kemoterapi lainnya akan dikembangkan, tetapi semua memiliki kelemahan fatal yang sama. Obat-obatan akan ampuh untuk jangka waktu yang sebentar, tetapi kemudian kehilangan keefektifannya. Inilah Paradigma Kanker 1.0. Kanker adalah penyakit evolusi sel yang nggak terkendali.

Itu berlebihan dan serampangan akhirnya malah merusak semua jaringan normal di sekitarnya. Itu terjadi di seantero jaringan tubuh yang berlainan, dan sering menyebar ke kompartemen lain. Jika kasusnya pertumbuhan terlalu meruah, maka jawabannya adalah harus menewaskannya.

Jalan keluarnya adalah:

  1. Operasi.
  2. Radiasi dan.
  3. Kemoterapi.

Yang mana masih menjadi fondasi dari aneka treatment kanker hingga hari ini.

Kemoterapi, dalam bentuk klasiknya pada esensinya adalah racun. Intinya adalah untuk membantai sel yang membiak lincah sedikit lebih cergas daripada membinasakan sel sehat. Jika Anda beruntung, Anda bisa mengenyahkan kanker sebelum membunuh pasien. Sel-sel normal yang tumbuh ekspres, seperti folikel rambut dan lapisan lambung dan usus adalah kerusakan tambahan yang mengundang efek samping kebotakan dan mual/ muntah yang jamak dikausakan oleh obat kemoterapi.

Tapi Paradigma Kanker ini 1.0 menderita cacat fatal. Itu nggak ngejawab pertanyaan tentang apa yang mencetuskan pertambahan sel yang nggak terkontrol ini. Itu nggak mengidentifikasi akar penyebab, penyulut ultimate/ fundamental. Treatment hanya bisa mengobati penyebab proximal dan karena itu kurang bermanfaat. Penyakit lokal bisa diobati, tetapi penyakit sistemik nggak bisa.

Kita tahu bahwa ada beberapa faktor kanker:

  1. Merokok.
  2. Virus (HPV), dan.
  3. Bahan kimia (jelaga, asbes).

Tapi kita nggak tau gimana ini bisa terkait. Entah bagaimana, berbagai penyakit ini semuanya menerbitkan pertumbuhan sel kanker yang lebay. Apa langkah perantara tidak diketahui.

Jadi dokter ngerjain yang terbaik yang mereka bisa. Mereka menyembuhkan pertumbuhan eksesif dengan penjagalan sel yang relatif sembarangan yang tumbuh dengan kilat. Memang sih, itu berhasil untuk beberapa kanker, tetapi gagal untuk mayoritas kanker.

Nevertheless, it was a step.

Namun demikian, itu merupakan sebuah langkah. Peristiwa besar berikutnya adalah adanya DNA Watson dan Crick yang dideteksi pada tahun 1953 dan reka cipta selanjutnya dari onkogen dan gen penekan tumor. Ini akan mengantar Cancer Paradigm 2.0—Kanker sebagai penyakit genetik.

Sekali lagi, kita mengantongi daftar penyulut kanker yang sudah terbongkar dan progres sel kanker yang kedapatan berlebih. Menurut teori mutasi somatik (SMT) segenap penyakit yang bervariasi ini memicu mutasi genetik yang mengundang pertumbuhan ‘overaktif’.

Kita dengan berani mencoba mengupas lapisan kebenaran. Selain semua perawatan Cancer Paradigm 1.0, paradigma kanker baru ini sebagai penyakit genetik membangkitkan treatments baru. Gleevec untuk leukemia myelogenous kronis dan Herceptin untuk kanker payudara adalah treatment paling beken dan sukses paling masyhur dari paradigma ini. Ini adalah kemajuan akbar dalam pengobatan untuk penyakit yang relatif mini dibandingkan dengan totalitas kanker. Ini bukan untuk meremehkan benefit mereka lho, tetapi, jujur aja, secara keseluruhan, paradigma ini telah gagal memenuhi hype-nya.

Paradigma kanker, sebagian besar, seperti yang telah kita diskusikan sebelumnya, nggak terpengaruh. Kematian kanker terus merayap. Kita tahu bahwa kanker memiliki banyak, banyak banget mutasi genetik. The Cancer Genome Atlas membuktikan hal itu tanpa diragukan lagi. Problematikannya bukan nemuin mutasi genetik, masalahnya adalah kita mendeteksi terlalu banyak mutasi. Mutasi bisa sangat berbeda bahkan dalam kanker yang 100% identik.

Terlepas dari investasi waktu, uang, dan kekuatan otak yang kolosal ke dalam paradigma genetik baru ini, kita belum melihat manfaat yang sepadan. Cacat genetik bukanlah penyebab ultimate elementer kanker—mereka masih hanya langkah perantara, penyebab proximate frontal. Yang perlu kita ngertiin adalah apa yang memecut mutasi itu.

Saat matahari terbenam di Cancer Paradigm 2.0, fajar baru memecah Kanker Paradigm 3.0. Sejak awal 2010-an, realisasinya perlahan meresap bahwa paradigma genetik 2.0 adalah jalan buntu. National Cancer Institute menjangkau lebih dari kader peneliti standar dan mendanai ilmuwan lain untuk menyokong berpikir ‘di luar kotak’.


Ahli kosmologi Paul Davies dan astrobiolog Charley Lineweaver akhirnya diundang untuk mengembangkan paradigma baru kanker atavistik.

 Ini juga mungkin bukan penyebab ultimate utama yang kita cari, tetapi setidaknya, kita dapat mengharapkan treatments baru, dan penemuan baru.

Tetap disini… Stay tuned…

Leave a Reply

Your email address will not be published.