Langsing Versus Kanker? Plus Hiperinsulinemia (2)

Langsing-Versus-Kanker-Plus-Hiperinsulinemia-(2)

Langsing versus kanker, masih saja merupakan perdebatan hingga kini. Apakah benar dengan melangsing Anda bisa menendang kanker? Atau gimana sih sesungguhnya?

Ada koneksi yang masif antara kanker dan obesitas seperti yang dibahas dalam posting ini. Saya telah menghabiskan beberapa tahun berdebat tentang hiperinsulinemia adalah akar penyebab obesitas dan diabetes tipe 2. Dan sekarang, ada kesimpulan masuk akal bahwa bisa jadi si hiperinsulinemia juga adalah pemain ulung pada mengguritanya penyakit kanker. Sebenarnya, tautan ini telah lumayan popular, sayangnya, lantas dikaburkan dengan pengumuman sangat tergesa-gesa, bahwa penyebab kanker:

  1. Sebagai penyakit genetik.
  2. Dari adanya akumulasi mutasi.

Karena kegemukan dan insulin yang tumpah-tumpah—hiperinsulinemia—jelas nggak bersifat mutagenik, hubungan ini mudah dilupakan, tetapi menjedul lagi, ketika paradigma kanker sebagai penyakit metabolik mulai dipertimbangkan secara intensif. Jadi apakah kaitan langsing versus kanker ini eksis? YA!

For example, it is quite simple to grow breast cancer cells in a lab.

Sebagai contoh, gampang lho untuk menumbuhkan sel kanker payudara di laboratorium. Resep ini telah dipake dengan sakses selama beberapa dekade. Jumputlah sejumlah sel kanker payudara, tetesi dengan glukosa, bubuhkan EGF (faktor pertumbuhan) dan percikkan insulin. Tambahkan insulin sebanyak-banyaknya. Jangan hemat-hemat, kucurkan terus hingga melimpah dan meluber. Sel-sel akan tumbuh seperti gulma pasca mandi hujan di musim semi. Kanker tumbuh sangat subur dari yang tersubur. Tetapi apa yang terjadi ketika Anda ‘menyapih’ atau menghilangkan insulin?  Mereka lemas dan mati.

Sekali lagi, langsing versus kanker itu nyata. Orang langsing biasanya tidak mengembangkan penyakit kanker.

By: Dokter Jason Fung (Hyperinsulinemia and cancer – Cancer 2)

Langsing versus Kanker, inilah kurang lebih gambarannya.
Kaitan Antara Kegemukan dan Cancer Payu Dara. Sumber Gambar: breastcancernow.org

Vuk Stambolic, seorang peneliti kanker senior mengatakan ini seperti, “para sel kanker itu seperti kecanduan (insulin)”.

Tapi tunggu sebentar.

Jaringan payudara normal nggak tergantung insulin banget. Anda nemuin reseptor insulin yang paling menonjol di sel-sel hati dan otot, tetapi payudara? Untungnya, nggak terlalu banyak. Jaringan payudara normal nggak rakus akan insulin lho, tetapi memang sel-sel kanker payudara nggak sanggup hidup tanpanya.

In 1990, researchers found that breast cancer cells contain over 6 times the number of normal insulin receptors as normal breast tissue.

Pada 1990, para peneliti menemukan bahwa sel kanker payudara mengandung lebih dari 6 kali jumlah reseptor insulin normal sebagai jaringan payudara normal. Itulah alasannya mengapa mereka sangat haus dan tamak akan insulin. Informasi tambahan, ternyata bukan hanya kanker payudara yang menampakkan gejala ini lho, tetapi hiperinsulinemia juga tersangkut dengan kasus colon cancer atau kanker usus besar, pankreas, dan endometrium.

Banyak jaringan yang nggak terlalu kaya dengan reseptor insulin malah mengembangkannya, ditambah that were chock full of them/ sel kanker bisa tumbuh penuh banget dan berjejalan saling tumpang tindih tanpa sela.

Pasti ada dasar kausanya, dan dasar itu cukup tegas dan transparan. Kanker yang tumbuh membutuhkan glukosa untuk berkecambah-bersemi-dan mekar. Glukosa dimanfaatkan untuk:

  1. Baik untuk sumber energi dan.
  2. Sebagai bahan baku untuk membangun.

Oleh karena itu, insulin dapat membantu membanjirinya.

Tetapi ada ke-galau-an lain tentang menjulangnya level insulin—insulin dapat merajalela dengan eksisnya faktor pertumbuhan 1 (IGF1). Insulin juga dapat meningkatkan sintesis dan mengakselerasi aktivitas biologis IGF1. Hormon peptida ini memiliki struktur molekul yang sangat mirip dengan insulin dan mengatur proliferasi sel.

Ini ditemukan pada 1950-an, meskipun sampai 2 dekade kemudian, kesamaan struktural dengan insulin tidak dicatat. Karena kemiripan itu, insulin juga mudah menstimulasi IGF1. Menyangkut-pautkan jalur pengindraan gizi seperti insulin dengan pertumbuhan sel, tentu masuk akal. Artinya, ketika Anda makan, insulin mencelat karena mayoritas makanan nyebabin insulin naik, kecuali mungkin lemak murni yang nggak berpengaruh sama sekali.

Ini memberi sinyal pada tubuh bahwa, “Hei. Dude, ada makanan nih, ayo kita berpesta pora dan bikin sel baru. Yihaaaa!”

Bagaimanapun, nggak masuk akal untuk membuat sel ‘berkecambah’ ketika nggak ada makanan—semua-sel-bayi-baru-yang-imut-itu akan mati dengan sia-sia.

Sniff…

Kesimpulan ini juga lahir dalam studi hewan klasik, tentang efek melapar pada tumor. Pertama kali dicatat pada tahun 1940-an oleh Peyton Rous dan Albert Tannenbaum, tikus bertumor—disebabkan oleh virus—dapat tetap hidup, tapi dengan catatan, ia hanya dikasih makanan yang cukup untuk membuatnya tetap hidup. Pokoknya, si tikus ini dibuat laper, Sob.

Sekali lagi, ini super logis.

Jika sensor nutrisi tikus menganggap nggak ada nutrisi yang memadai, semua jalur pertumbuhan, termasuk dari sel kanker akan diblokir.

In vitro studies have clearly shown that both insulin and IGF1 act as growth factors to promote cell proliferation and inhibit apoptosis (programmed cell death).

Penelitian in vitro telah dengan jelas menunjukkan bahwa insulin dan IGF1 bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk mendorong proliferasi sel dan menghambat apoptosis (kematian sel terprogram).

Riset pada hewan yang menonaktifkan reseptor IGF1 mendedah fakta mengenai merosotnya kemampuan tumbuh kembang si tumor. Tetapi hormon lain juga merangsang IGF1—hormon pertumbuhan. Jadi, hormon pertumbuhan (GH) juga buruk? Yah, itu nggak bekerja seperti itu.

Salah Satu Makanan Memicu Insulin Berlebihan. Sumber Gambar: canva.com

Ada keseimbangan. Jika hormon pertumbuhan melimpah ruah (penyakit yang disebut akromegali), Anda akan menemukan kelebihan kadar IGF1. Tetapi dalam situasi normal, baik insulin dan GH memang menstimulasi IGF1. Namun sesungguhnya, insulin dan hormon pertumbuhan adalah hormon yang berlawanan. Ingatlah bahwa hormon pertumbuhan adalah counter-regulatory hormones, yang berarti hormon yang bermusuhan dengan insulin. Saat insulin naik, GH turun.

Nggak ada yang sanggup mematikan sekresi GH. Namun, hanya ada satu aktivitas yang sanggup melumpuhkan GH, yaitu MEMAMAH BIAK ALIAS MAKAN. Insulin berfungsi untuk memindahkan glukosa dari darah ke dalam sel, dan GH bekerja dalam arah yang berlawanan—memindahkan glukosa dari sel (hati) ke dalam darah untuk energi. Jadi, tidak ada paradoks di sini.

Normalnya, GH dan insulin bergerak dalam arah yang berlawanan, sehingga kadar IGF1 relatif stabil meskipun terjadi fluktuasi insulin dan GH. Dalam kondisi kelebihan insulin (hiperinsulinemia) kadar IGF1 berlebihan, sementara level GH ultra rendah.

Jika kondisi sekresi GH patologis (akromegali) Anda akan mendapatkan situasi yang sama. Karena ini hanya terjadi pada tumor pituitari yang langka itu, kita akan mengabaikannya, karena prevalensinya nggak seberapa dibandingkan dengan epidemi hiperinsulinemia dalam peradaban dunia zaman now.

Hati adalah sumber IGF1 yang jumlahnya lebih dari 80%, dia bekerja dengan bersirkulasi, di mana stimulus elementernya adalah GH. However, in patients who are chronically fasting or type 1 diabetes, low insulin levels cause reductions in liver GH receptors and reduced synthesis and blood levels of IGF1. Namun, pada pasien yang berpuasa kronis atau diabetes tipe 1, kadar insulin yang rendah menyebabkan penurunan reseptor GH hati dan berkurangnya sintesis dan kadar IGF1 dalam darah.

Pada 1980-an, ditemukan bahwa tumor mengandung 2-3 kali lebih banyak reseptor IGF1. Sementara itu, IGF1 pada jaringan sehat jauh lebih sedikit. Tetapi, yang mengejutkan adalah, korelasi lebih banyak ditemukan antara insulin dan kanker.

Pada 1980-an, Cantley dan rekannya menemukan PI3 kinase (PI3K), yang ialah pemain lain dalam jaringan metabolisme, pertumbuhan, dan pensinyalan insulin. In the 1990s it was discovered that PI3K plays a huge role in cancer, too with it’s links to the tumor suppressor gene called PTEN. Pada 1990-an diketahui bahwa PI3K memainkan peran superior dalam kanker, juga dengan kaitannya dengan gen penekan tumor yang disebut PTEN.

In 2012, researchers reported in the New England Journal of Medicine that mutations in PTEN increased the risk of cancer, but also decreased the risk of type 2 diabetes. Pada 2012, para peneliti membuat report dalam New England Journal of Medicine bahwa mutasi pada PTEN melambungkan risiko kanker, tetapi juga memangkas risiko diabetes tipe 2.

Karena mutasi ini meningkatkan efek insulin, tetapi glukosa darah malah anjlok. Ketika glukosa darah turun, diagnosis diabetes tipe 2 ikutan melandai. Mutasi PTEN adalah salah satu gejala paling umum yang ditemukan pada kanker.

Namun, pada penyakit hiperinsulinemia, obesitas pun merayap naik. Poin vital adalah kanker juga merupakan penyakit hiperinsulinemia. Temuan ini bukan satu-satunya.

Another study from 2007 used genome wide association scanning to find genetic mutations linked to prostate cancer. Studi lain dari tahun 2007 menggunakan scanning atau pemindaian asosiasi genome untuk menemukan mutasi genetik yang terkait dengan kanker prostat. Salah satu mutasi ini menjumpai peningkatan risiko kanker, sementara risiko diabetes tipe 2 menurun.

Further, many of the genes that increase the risk of type 2 diabetes are located in very close proximity to those genes that are involved in cell-cycle regulation, or the decision whether this cell proliferates or not.

Lebih jauh, banyak gen yang menghebatkan risiko diabetes tipe 2 terletak dekat banget dengan gen-gen yang terlibat dalam regulasi siklus sel, atau keputusan apakah sel ini berkembang biak atau mati aja.

Jika dilihat sekilas, ini mungkin nggak masuk akal sama sekali, tetapi pemeriksaan lebih dekat mengungkapkan hubungan yang tegas. Tubuh membikin keputusan apakah akan tumbuh atau tidak. Selama masa kelaparan, pertumbuhan sel menjadi hal yang merugikan, tampak rempong dan rusuh sekali, karena ini berarti ada ‘terlalu banyak mulut untuk diberi makan’.

So, the logical thing to do is to increase apoptosis (programmed cell death) to cull some of these extraneous cells.

Jadi, hal logis yang harus segera dieksekusi adalah meningkatkan apoptosis (kematian sel terprogram) untuk memusnahkan beberapa sel asing ini. Autophagy adalah proses membersihkan tubuh dari sub organisme yang nggak dibutuhkan. Mulut ekstra ini—seperti paman numpang makan gratis—akan ditunjukkan ke arah pintu keluar, dan dipersilakan segera angkat kaki, karena sumber daya yang langka.

Sensor nutrisi, seperti insulin dan mTOR (yang akan kita bicarakan nanti) krusial banget untuk merakit keputusan apakah sel harus bersemi atau tidak. Diketahui bahwa insulin dan IGF1 melakonkan posisi signifikan dalam apoptosis.

Memang, ada ambang untuk IGF1. Di bawah tingkat itu, sel-sel akan memasuki apoptosis, sehingga IGF1 bisa dibilang faktor survival hidup sel.

Ada dua faktor mayor dalam kanker:

  1. Pertama—apa yang membuat sel menjadi kanker.
  2. Kedua—apa yang membuat sel kanker tumbuh.

Ini adalah dua pertanyaan yang sepenuhnya terpisah. Dalam menjawab pertanyaan pertama, insulin tidak berperan (sejauh yang saya tahu). Namun, faktor-faktor tertentu meningkatkan merajalelanya sel kanker.

Kanker berasal dari jaringan normal, dan faktor pertumbuhan untuk sel-sel itulah yang akan menghebatkan progres kanker. Misalnya, jaringan payudara peka terhadap estrogen (membuatnya tumbuh).Karena kanker payudara berasal dari jaringan payudara normal, estrogen akan memicu sel-sel kanker payudara juga ‘bertunas’.Oleh karena itu, perawatan anti-estrogen, efektif membantu kanker payudara nggak kambuh (misalnya: Tamoxifen, aromatase inhibitor).

Sel-sel prostat ‘menelan’ testosteron dan karenanya memblokir testosteron (misal: via dikebiri aja) juga akan ngebantu banget proses pengobatan kanker prostat.

Mengetahui apa yang membuat jaringan tumbuh adalah informasi berharga, yang merujuk pada terapi kanker yang viabel.Sekarang, gimana jika ada faktor pertumbuhan general yang efektif di hampir semua sel?

Ini nggak akan melahirkan nuansa dalam menjawab mengapa kanker berkembang, tetapi masih akan berharga dalam terapi kanker adjunctive a.k.a tambahan. Kita udah tahu ada sinyal pertumbuhan yang eksis di hampir semua sel. These pathways telah dilestarikan selama millennia atauribuan tahun sampai ke organisme bersel tunggal.

Kita harus menggaris bawahi bahwa langsing versus kanker ini perlu diprioritaskan lagi. Ngapain membeli obat mahal jika sudah jelas langsing versus kanker sudah ada kaitan erat. Tinggal melangsing aja dong kalo gitu. Apakah benar begitu? Mari kita bahas lebih lanjut.

Insulin (responsif terhadap karbohidrat dan protein, terutama hewani). Ya, tetapi ada yang lebih kuno dibanding itu dan bisa jadi lebih setrong, yaitu mTOR (responsif terhadap protein). Bagaimana jika kita sudah tau cara meredupkan sinyal pertumbuhan umum ini (sensor nutrisi)?

Ini akan menjadi an unimaginable powerful weapon senjata ampuh yang tak terbayangkan untuk mencegah dan membantu dalam pengobatan kanker. Pokoknya senjata superb gitu deh.

Langsing versus kanker, seharusnya, karena kita sudah tiba di paragraf ini, sudah menemukan titik terang. Ya, kan? Dan, beruntung bagi kita, metode ini sudah exist, dan gratis. What is this? Apa ini? (Jika Anda belum tahu, Anda pasti adalah pembaca baru) Fasting. Boom! Puasa, Sob. Obat kanker adalah PUASA!

Leave a Reply

Your email address will not be published.