Menyembuhkan Infeksi Bakteri? Puasa Intermittent aja

Menyembuhkan-Infeksi-Bakteri-Puasa-Intermittent-aja

Menyembuhkan infeksi bakteri biasanya harus dibantu dengan meminum obat. Bagaimana jika para ahli biologi menemukan metode lain yang tidak melibatkan bahan kimia. Lha beneran tuh? Ya. Oleh karena itu, simak penjelasan di bawah ini.

Puasa telah diterka sebagai resep awet muda, terutama ketika ahli biologi dari Jepang—profesor Yoshinori Ohsumi—nemuin hasil bahwa, puasa bisa melahirkan terjadinya autophagy. Hipotesis ini dengan sah-dan-meyakinkan bisa dianggap sebagai seonggok fakta. Nah, sebab itu, menyembuhkan infeksi bakteri pun bisa disembuhkan tanpa bantuan apa pun dong? Bener nggak?

Berdasarkan penemuan itu, saya pun tetiba berpikir yang sama dengan Anda. Jika begitu, manusia MEMANG nggak perlu lagi dong meminum obat atau bahkan nenggak antibiotik, jika tubuh kita sanggup nendang penyakit secara auto pilot atau tanpa bantuan apa pun.

Semenjak saya melakoni puasa intermitten, saya ndak pernah ngalamin dan terpaksa menyembuhkan infeksi bakteri, akibatnya, saya tidak punya empirical evidence—membuktikan dengan mempraktikkannya sendiri.

Lalu, bagaimana saya bisa tau bahwa menyembuhkan infeksi bakteri bisa melalui puasa? Karena sudah ada yang mencobanya. Saya mengambil contoh kasus dari Carl Franklin, sehingga kalian bisa membaca penuturannya langsung. Cekidot.

By: Carl Franklin

Disclaimer: Jika Anda menderita infeksi bakteri, sebaiknya, Anda segera mendatangi dokter. Jurnal ini bukanlah advis medis. Ini hanyalah berdasarkan pengalaman saya. Please be smart saat dealing dengan kehidupan biologi Anda. Ok? Great. Read on!

Saya notice, sejak saya memulai journey keto, salah satunya termasuk puasa intermittent, sistem imun saya tampak sedikit nggak berkompromi. Saya lebih sering terserang pilek. Tahun 2016—pasca menjalani keto selama 4 bulan—ketika saya mendatangi Belgia dengan a-whopper-of-virus atau virus merembes ke tubuh, dan sialnya, ini berlangsung sepanjang musim panas lho.

Saya adalah vocalist utama untuk band saya, Franklin Brothers, karena saya sakit, jadinya saat itu saya nggak bisa nyanyi, dong. Saya pikir, jangan-jangan adakah koneksinya? Tetapi saya mengabaikannya.

Selain dari pada itu, untuk si bakteri, luka dan goresan yang seharusnya sudah sembuh kemudian terinfeksi dan butuh antibiotik untuk menyembuhkan. Dan, karena saya udah tau efek samping dari antibiotik— agak sangar, oleh karena itu saya jadi ingin meminimalisir pemakaian antibiotik, tentunya.

By: Carl Franklin (Can Fasting Heal a Bacterial Infection?)

Goresan terakhir berubah menjadi selulit, terasa cekot-cekot, kemudian gatal, kemudian kulit menjadi terinfeksi dan menyebar. It’s not good. Sekitar 10 hari bagian pergelangan tangan terbakar. Melepuh dan memerah. Meskipun saya telah menutupinya dengan krim antibiotik dan kasa, ia tetap terinfeksi dan terlihat tampak seperti selulit. Great. More antibiotics. Lebih banyak antibiotik, Sob.

Sebagai catatan tambahan, saya dapet dokter baru tahun ini, Dr. Ken Berry. Dia adalah seorang dokter keluarga di pedesaan Tennessee. Dia menulis sebuah buku berjudul Lies My Doctor Told Me, yang mana pernah saya baca, dan itu benar.

Program yang dimilikinya adalah Anda bisa menemuinya langsung, cek darah, dan jika Anda nggak minum obat, Anda tetap akan dimonitor secara personal dan konstan, dan kita bisa request treatment jarak jauh juga.

Saya pernah punya pengalaman nggak enak dengan dokter lokal, oleh karena itu saya mutusin keluar dari zaman kegelapan, that was a no-brainer.

Anyway, hasil tes darah saya menunjukkan level testosteron yang minor. Jika tingkat testoteron kita rendah, infeksi kulit menelan waktu lebih lama untuk penyembuhan, itu berdasarkan info dari dokter Dr. Berry. Sedikit riset juga telah menegaskan hal ini. Jadi, saya segera mengoleskan testosterone gel untuk mengembalikan kadarnya ke standar normal.

Kembali ke infeksi. Karena feeling saya mengatakan bahwa sistem imun bisa juga dipengaruhi oleh puasa, maka saya pun melakukan beberapa riset, dan menemukan, on the face of that, dua studi yang hasilnya saling bertolak belakang.

Artikel ini mengutip sebuah penelitian tentang lalat buah ke jamur—memiliki gen nyaris sama dengan manusia—yang mana dipengaruhi oleh stres dan kekebalan tubuh. Memang, sih, itu bisa memperpanjang hidup mereka, tetapi di sisi lain, mereka menjadi lebih mudah terinfeksi. Tetapi, inget, riset ini dikerjakan pada lalat buah, Sob.

Mereka melompat ke beberapa kesimpulan:

  1. Puasa intermiten akan memiliki efek yang serupa pada jamur ini.
  2. Hasil pada lalat buah dan manusia akan ekuivalen. Jadi keduanya dianggap akan berefek sama.

Artikel kedua mengutip penelitian di Yale, yang mana tikus sengaja dipapar dengan virus dan infeksi bakteri, kemudian:

  1. Ada yang harus berpuasa, dan.
  2. Ada yang enggak puasa.

Ketika tikus diberi makan, satu bisa survive karena terinfeksi virus, tetapi yang terinfeksi bakteri malah tidak.

Ketika berpuasa, hasilnya justru terbalik. Mereka yang terinfeksi virus nggak bisa bertahan, tetapi yang terkena infeksi bakteri anehnya bisa. Atlantik punya cerita tentang studi yang identik, dengan versi editorial.

Berikut kutipannya:
 “Pada prinsipnya, suatu hari seorang dokter bisa memberikan diagnosis bersama dengan rekomendasi diet khusus. Itu bisa mempercepat pemulihan dan membatasi krisis global penggunaan antibiotik berlebihan.”

Tahun lalu saya nemuin artikel ini, yang mengutip tentang puasa panjang untuk 3 hari, namun, ini bisa meregenerasi sistem kekebalan tubuh sepenuhnya, yang mana memiliki efek positif melawan infeksi bakteri. Seperti yang saya katakan: di permukaan, temuan dari studi pertama dan ketiga tampaknya kontradiktif.

Or do they?

Puasa intermiten berbeda dari puasa diperpanjang. Jika Anda puasa 23 jam, proses autophagy belum sempat selesai. Jadi sistem imun kita akan beregenerasi jika puasa selama tiga hari. Ini kedengeran kayak fenomena saat kamu nggak ngabisin antibiotik.

Bakteri mengembangkan resistensi terhadapnya. Mungkin ada sesuatu yang mirip, dan yang perlu kita garis bawahi adalah tentang RESISTENSI. This, however, is just a guess. Jika benar bahwa puasa intermiten akan membuat Anda lebih rentan terhadap infeksi (yang tampaknya menjadi kasus saya) dan puasa diperpanjang dapat memiliki efek positif pada sistem kekebalan Anda yang akan membantu melawan infeksi bakteri, maka saya harus melakukan ekstensi puasa atau puasa dalam jangka waktu panjang, dan lihat apa yang terjadi pada selulit saya.

Now, before you say “that’s crazy, Carl. You could die!”  Sekarang, sebelum Anda mengatakan “itu gila, Carl. Kamu bisa mati!”

Saya berbagi ide tentang hal ini dengan dokter saya, dan dia setuju bahwa saya harus mencobanya—dengan catatan bahwa saya harus memonitornya setiap hari. Jika memburuk, kami akan menghentikan percobaan ini dan segera mengoleskan antibiotik.

Puasa beberapa hari, seharusnya nggak akan ada bedanya, dong. Namun, jika itu menjadi lebih tokcer, itu berarti puasa panjang adalah hal yang krusial. Jika begitu persoalannya, saya sanggup nyembuhin infeksi yang seharusnya membutuhkan antibiotik. Namun, ada confounder dalam eksperimen saya. Saya mulai mengoleskan testosteron pada hari kedua, yang mana mengakselerasi proses recovery.

Untuk menguji ini dengan total, saya harus memiliki kadar testoteron yang normal, dan kemudian berpuasa. Tapi kan, tujuan saya ngejalanin eksperimen ini adalah untuk mengusir infeksi tanpa antibiotik.

Jika itu jadi kenyataan, I’m happy for now, jika enggak, ya udahlah. Mungkin kita perlu melakukan lebih banyak percobaan lagi ke depannya.

On top of fasting, saya menemukan bahwa menyemprotkan air panas dari shower ke kulit yang terinfeksi, sepanas yang bisa saya tahan, menimbulkan perasaan aneh tetapi asik, seperti ketika menggaruk gatal.

Itu juga sepertinya menghilangkan rasa gatalnya. Saya tidak tahu mengapa ini terjadi, tetapi saya melakukannya dua kali sehari untuk mengendalikan rasa gatal. Saya juga mengoleskan Cetaphil, pelembab kulit, setiap hari.

 Ok, let’s look at some pictures, shall we? Oke, mari kita lihat beberapa foto, ya?

Hari Pertama

Ini adalah foto pertama yang saya ambil pada 11 Mei 2018: Pada hari saya mulai berpuasa. Pada saat itu, lukanya telah sembuh tetapi masih sangat sakit. Saya benar-benar berhenti makan sehari sebelumnya, 10 Mei, tetapi saya minum kopi dengan krim kental dua kali sehari.

Saya biasanya melakukan ini untuk merasa at ease atau nggak uring-uringan. Jadi, secara teknis ini bukannya tanpa makanan, tapi ‘makanan’ yang biasa diganti dengan krim kental. Saya minum 2 jenis alkohol non-karbohidrat (wiski) di malam hari. Saya membaca sebuah studi yang mengindikasikan bahwa mengonsumsi alkohol moderat mengaktifkan autophagy. Hey, as long as it doesn’t stop it, I’m all in! Hei, selama itu nggak menghentikan si puasa, saya ikut cara itu lah!

Ini gambar dari hari kedua: 12 Mei

Day two I was all in.

Hari kedua.
No food. Tidak ada makanan. Hanya kopi hitam, air, garam, dan suplemen. Ini adalah hari pertama di mana saya memakai testosteron.

Ini gambar dari hari ketiga. Ini adalah ketika saya sadar banget ini mulai memudar. Dan di sini kita berada di Hari ke 4. Practically gone. Beneran ilang, Sob.

Ringkasan, saya memiliki testosteron rendah. Saya udah ngerjain diet ketogenik dengan Intermitent Fasting atau puasa intermiten. Saya lebih mudah terinfeksi daripada biasanya.

Di putaran ketiga saya memutuskan untuk mengintervensinya dengan terapi testosteron dan puasa diperpanjang. Saya nggak tau sejauh mana ‘campur tangan’ ini berfaedah, tetapi hasilnya kan memang nggak bisa disangkal, kita semua telah melihatnya, Sob. Bahwa saya bisa membersihkan infeksi bakteri yang biasanya harus ‘dipenggal’ oleh antibiotik, dan itu membuat saya hepi.

Dr. Jason Fung dari Program IDM berkomentar: “Itu sangat menarik, Carl. Memang, sih, tidak ada sains yang ngebackup ini, tetapi bagi saya itu masuk akal. Whenever we get sick (flu etc.) we stop eating. Setiap kali kita sakit (flu dll.) Kita berhenti makan.

Itu adalah reaksi alami, jadi itu kayaknya sih cara tubuh memproteksi dirinya. Puasa mengunci glukosa, dan memaksa kita untuk menggunakan fatty acids atauasam lemak untuk energi, yang cihuynya, si asam lemak ini nggak bisa digunakan oleh bakteri.

Anda pada basic-nya membikin si bakteri menjadi kelaparan. Saya masih belum yakin bahwa itu adalah puasa 100% dan bukan testosteron. Menyembuhkan infeksi bakteri memang bukan masalah mudah, tetapi saya masih penasaran.

Pada Hari ke-4, saya ingin sedikit lebih fokus dalam eksperimen.

Saya membatalkan puasa jam 3 sore, dan makan cukup banyak hidangan berlemak. Saya juga mutusin bahwa keesokan harinya saya TIDAK akan mengoleskan gel testosteron, tetapi SAYA AKAN kembali berpuasa.

Pagi berikutnya tampaknya sedikit lebih merah, gatal, dan saya bisa merasakan sedikit rasa sakit, padahal sehari sebelumnya nggak ada tuh. Ini foto dari hari ke-5: Anda dapat melihat bahwa itu sedikit lebih merah.

Saya akan melakukan puasa lebih panjang (minimal 3 hari) tanpa terapi testosteron Androgel, dan saya akan memposting foto di sini setiap hari. Hari 6 – Tidak ada Androgel. Kembali ke berpuasa. Seperti yang Anda lihat itu terlihat sedikit lebih merah.

Menyembuhkan infeksi bakteri dengan bantuan tubuh sendiri
Hari ke-6, membaik tanpa antibiotik

Kemarin saya berpuasa sepanjang hari hanya dengan minum zero-carb drinksminuman-tanpa-karbohidrat di malam hari. Sekarang ini semakin menarik. Here we are at day, kita berada di hari ke 7, atau lebih tepatnya, setelah 2 hari puasa tanpa testosteron. Menyembuhkan infeksi bakteri menjadi lebih menarik. Dan, semuanya terlihat lebih baik daripada kemarin, dan tampak menjanjikan. Hari ke 8, atau 3 hari berpuasa penuh (ada istirahat di tengah-tengah) tanpa testosteron. Still continuing to heal. Proses penyembuhan masih terus berjalan.

Sekali lagi, jika Anda ingin menyembuhkan infeksi bakteri bukan berarti Anda harus percaya pada saya. Anda tetap harus segera berbicara dengan dokter Anda.

Carl Franklin

Leave a Reply

Your email address will not be published.